Cara mensucikan Air Mani Pada
Pakaian dan Pendapat Para Ulama tentang Hadits dari Aisyah
Berbicara tentang bersuci maka
persoalan air mani pun juga menjadi pembahasan dalam hal kenajisannya dan hal
inilah yang menjadi perbedaan sebagian ulama tafsir tentang bagaimana cara
menbersihkan air mani yang tidak sengaja menetes pada pakaian pada saat setelah
melakukan hubungan suami istri atau bermimpi basah (keluar air mani). berikut
kita mencoba mengkaji dan memahami bagaimana cara membersihkan air mani
tersebut sesuai dengan hadits dan para pendapat ulama, agar kita sebagai orang
awwam bisa mengerti dan memahami yang mungkin selama ini belum atau masih
samar-samar mengetahui hal tersebut.
Berbicara masalah mani tentu
tidak terlepas dari kemaluan, dimana dilubang yang sama ada empat yang biasa
keluar yakni air kencing, mani, madzi dan wad'i
Mani atau cairan sperma adalah
cairan berwarna putih keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat,
keluar dengan memancar dan membuat lemas, biasanya keluarnya cairan ini
diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam
keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan
tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Madzi adalah cairan yang
keluar dari kemaluan, bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat
yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan
seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan
dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya
air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air
mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar
tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan
wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Wadi adalah air
putih kental dan keruh seperti mani yang keluar dari kemaluan seseorang setelah
kencing. Wadi tidak memiliki bau dan lebih banyak keluar dimusim dingin
daripada dimusim panas.
Di bawah ini salah satu hadits
yang menerangkan tentang cara membersihkan najis mani dari pakaian sebagai
berikut :
Artinya :
"Dari Aisyah r.a berkata :
pernah Rasulullah saw mencuci bekas mani, kemudian beliau keluar untuk
sembahyang dengan pakaiannya itu dan saya melihat bekas cuciannya itu (mutafaq 'alaih). Dan menurut riwayat Muslim
: Aisyah berkata, saya pernah menggosoknya (bekas mani) benar-benar dari kain
Rasulullah, lalu sembahyang dengan kain itu
وَعَنْ عَائِشَةَ رضِي اللّه عنها ، قالت : (( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ، ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلاَةِ فِيْ ذَلِكَ الثَّوْبِ ، وَأنَا أَنْظُرُ إِلَى أثَرِ الْغَسْلِ )) . متفق عليه .وَلِمُسْلمٍ : لَقَدْ
كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى
اللّه عليه وسلم فَرْكاً ، فَيُصَلي فِيهِ
Artinya :
"Dari Aisyah r.a berkata :
pernah Rasulullah saw mencuci bekas mani, kemudian beliau keluar untuk
sembahyang dengan pakaiannya itu dan saya melihat bekas cuciannya itu (mutafaq 'alaih). Dan menurut riwayat Muslim
: Aisyah berkata, saya pernah menggosoknya (bekas mani) benar-benar dari kain
Rasulullah, lalu sembahyang dengan kain itu.
Aisyah mengatakan : Rasulullah
saw, pernah mencuci bekas mani dari pakaiannya, kemudian beliau keluar
sembahyang dengan pakaian itu dan saya melihat bekas cucian pada kainnya itu.
Sepakat antara Al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan juga dari aisyah
dengan lafal yang berbeda-beda. Bahwa dia (Aisyah) mencuci bekas mani dari kain
Nabi saw. Dan pada sebagian riwayatnya dengan lafal : Dan bekas cucian pada
kainnya itu dengan menetesnya air bekas cucian itu" dan dalam suatu lafal
;"Lalu beliau keluar untuk sembahyang sekalipun masih menetes air dari
bekas cucian dari kainnya". Dan lafal lain lagi : "Dan bekas cucian
pada kainnya ialah dengan menetesnya bekas air cucian". Dan dalam ssuatu
lafal lain : " Kemudian Aku (Aisyah) melihat tetesan air dari
kainnya". Hanya saja Al-Bazzar mengatakan ; Sesungguhnya hadits dari
Aisyah itu melalui Sulaiman bin Yasar dan tidak mendengarnya dari Aisyah.
Berdasarkan hadits diatas orang
mengatakan kenajisan mani, maka pada ulama berpendapat :
Ulama Al-Hdawiyah (Syi'ah), Ulama
Hanafiyah dan Malik dan salah satu riwayat dari pendapat Ahmad. Mereka
mengatakan :
Karena cucian itu hanyalah yang
najis. Juga berdasarkan qiyas atas yang lainnya seperti kotoran dari tubuh
manusia, diantaranya kencing, berak, karena itu dari sisa makanan manusia. Juga
berdasarkan alasan bahwa hadits-hadits yang diwajibkan mencuci itu ialah najis,
dan mani termasuk diantara najis itu, dan karena mani keluar melalui saluran
kencing, maka harus dicuci dengan air seperti najis-najis lainnya. Mereka
menta'wilkan hadits berikut seperti pengertian katanya, menurut riwayat muslim
dari Aisyah dengan lafal yang terpisah dari Al-Bukhari, yaitu kata Aisyah ;
Sungguh saya betul-betul pernah menggosokkan kain Nabi saw. Kata "farkan
" adalah mashdar Ta'kid (yang menyungguhkan pengertian fi'il, yang
menegaskan bahwa Aisyah betul-betul pernah menggosokkan. Kata "Al-Farku" dan "Ad-Dalku"
sama-sama berarti gosokan . Dikatakan " Farakats Tsauba," bila dia
menggosokkan. Lalu beliau sembahyang dengan kain yang baru di cuci itu.
Menurut riwayat Muslim dari
Aisyah juga lafalnya sebagai berikut :
وَفِيْ لَفْظٍ لَهُ : لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِيْ مِنْ ثَوْبِهِ
"sungguh aku menggosok bekas
mani yang kering dengan kuku saya dari kain beliau"
Menurut lafal Ad-Darulquthni dan
Ibnu Khuzaimah sebagai berikut :
"Sesungguhnya Aisyah pernah
menggosok bekas mani dari kain Nabi saw, sedang beliau sembahyang".
Menurut lafal Ibnu Hibban sebagai
berikut :
"Engkau telah melihat saya
telah menggosok mani dari kain Nabi saw, sedangkan beliau sembahyang".
Sanad perawinya sama dengan sanad perawih hadits shahih
Bagi Ulama yang mentakwilkan
pengertian hadits-hadits tentang gosokan kain yang dikenai mani itu, dengan
pengertian menggosokkan sewaktu mencucinya dengan air, pentakwilan semacam itu
jauh dari kebenaran
Syafi'e mengatakan : Mani itu
suci, mereka mengemukakan dalil yang menunjukkan kesuciannya mani itu dengan
hadits-hadits tersebut dengan mengatakan : Bahwa hadits-hadits yang menjelaskan
tentang pencucian mani itu hanyalah terkadang hukum sunat mencucinya saja, dan
cucian itu bukanlah menunjukkan kenajisan-kenajisan mani itu. Terkadang
pencucian itu hanya karena sucinya dan sekedar menghilangkan daki dan
sebagainya. dan penyamaan mani dengan dahak dan ludah itu menunjukkan kesucian
mani juga. Perintah mengusapnya dengan penyeka kotoran atau kain lainnya,
hanyalah karena untuk menghilangkan daki/kotoran yang tidak disukai tetapnya
pada kain orang yang sembahyang. Maka seandainya mani itu najis maka sungguh
tidak cukup untuk mengusapnya.
Adapun penyamaan mani dengan sisa
makanan yang kotor seperti kencing dan berat seperti kata orang yang mengatakan
kenajisan mani itu. Maka tidak boleh di qiyas begitu saja bagi masalah yang
sudah ada ketentuan nashnya. Kelompok pertama yang mengatakan najisnya mani
Ulama Al-Hadawiyyah Cs) mengatakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan gosokan
bekas mani hanyalah mani Nabi yang boleh digosok tanpa di cuci itu, karena sisa
makannya seperti mani beliau itu suci tidak boleh disamakan dengan mani orang
lain. Tetapi alasan itu dibantah, bahwa Aisyah telah menggambarkan tentang
gosokan bekas mani dari kain beliau, maka mengandung kemungkinan mani itu dari
akibat persebuahan dan jelas sudah tercampur dengan mani istrinya (Aisyah)
sehingga tidak dapat ditentukan bahwa itu bekas mani Nabi saw.
Ada yang mengatakan bahwa mani
itu adalah mani Nabi saw sendiri dan itu pelampiasan syahwat yang didahului
sebab-sebab keluarnya mani, karena bersenda gurau dan semacamnya. Dan mani
semacam itu tidak bercampur dengan mani perempuan. Itu hanya kemungkinan saja
dan tidak ada dalil yang menunjukkan kemungkinan itu
Ulama Hanafiyah berpendapat
najisnya mani seperti ulama-ulama lain syi'ah, akan tetapi mereka mengatakan :
Bisa disucikan dengan air atau digosokkan atau diusapkan dengan kain, berdasar
kedua hadits di atas (penggosokan mani). Perbedaan pendapat antara dua golongan
yaitu yang mengatakan najisnya mani dan mengatakan sucinya mani masing-masing
mempunyai pandangan, bantah membantah dan argumentasi yang panjang.
Demikianlah tentang cara
membersihkan air mani menurut pada ulama dari hadits Aisyah, semoga bisa kita
jadikan rujukan untuk di praktetkan cara penyuciannya
Air mani itu suci dan tidak najis menurut
pendapat yang rojih. Kedudukannya sama seperti air ludah, ingus dan air reak.
Meskipun dianggap kotor, tetapi kotor bukan sebagai najis. Secara syar’i, ia
tetap suci. Adapun kadang-kadang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Aisyah
mencuci air mani yang menempel di pakaian Beliau, tidak menunjukkan najisnya,
tetapi sebagai kebersihan saja. Seperti air ludah dan ingus yang mengenai
pakaian kita, dikatakan kotor, kemudian dicuci untuk kebersihan.
Kewajiban seorang isteri berkhidmat kepada
suami, sampai-sampai dalam masalah yang dianggap kotor oleh manusia.
Zuhudnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
dalam kehidupan dunia. dan karena persoalan tersbut sudah diketahui oleh
Rasulullah akan menjadi perdebatan pada ummatnya sehingga dengan apa yang dia
lakukan menjadikan hukum dan cara umatnya jika melakukan hubungan suami istri
Setiap perkataan dan perbuatan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak disembunyikan dari umatnya. Meskipun sesuatu
yang biasanya disembunyikan oleh manusia, seperti urusan air mani. Dari kaidah
ini, kita mengetahui, alangkah batilnya perkataan Rafidhah (Syi’ah), bahwa Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam telah merahasiakan sesuatu kepada Ali yang tidak
diketahui oleh seorangpun juga dari umatnya.
0 comments:
Post a Comment