BLOG TENTANG : PENGERTIAN, MANFAAT, PENDIDIKAN, KESEHATAN, SERTA CARA, PETUNJUK DAN DO'A-DO'A

Pengertian Qiyas, Contohnya dan Motif Hukumnya serta Rukun Unsurnya

Dalil-dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama ada 4 yakni Al-Qur'an. Sunnah, ijma' dan qiyas dan keempat hukum tersebut sudah ditetapkan urutan-urutannya. Jika menghadapi masalah yang berhubungan dengan fiqhi, maka yang pertama harus mencari hukumnya melalui Al-qur'an, jika tidak dijumpai di dalam Al-Qur'an, maka melalui hadits atau sunnah nabi, jika hukum itu tidak ditemukan pada Al-Qur'an dan hadits/sunnah Nabi, maka hukum tersebut maka harus diperhatikan apakah dikalangan mujtahidin pernah ada kesepakatan (ijma'), jika tidak ditemukan maka hendaknya melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas. Berbicara masalah qiyas tentunya harus dipahami pengertian dari qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum yang ke 4 (empat) dari sumber hukum Islam.
Pengertian Qiyas dan Unsur-unsurnya
Qiyas secara etimologis berasal dari bahasa arab, yang artinya mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkrik, serti benda-benda yang dapat dipegang, diukir dan sebagainya, maupun yang abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya.
Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu.
Beberapa contoh tentang qiyas sebagai berikut :
  1. Dalam surah Al-maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum khamar. Khamar minuman keras yang dibuat dari anggur. Mengapa dilarang ? dan bagaimana bila minuman keras itu dibuat dari bahan lainnya, seperti dari beras kentan, ketela dan sebagainya ? Dalam hal ini, kita perlu meneliti illat hukumnya (sebab adanya larangan keras minuman itu) ialah karena bisa memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu diterdapat di semua minuman keras. Karena itu, dengan qiyas, semua jenis minuman keras diharamkan.
  2. Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang mewariskan hartanya itu gugur hak warisnya. Illat hukumnya (sebabnya), bahwa pembunuhannya di maksudkan untuk mempercepat hak warisnya. Tetapi justru hak warisnya gugur, sebagai hukuman atas kejahatannya. Demikian pula pembunuh orang orang yang memberi wasiat, gugur hak wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang mewariskan hartanya, karena ada permaan illatnya.
  3. Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu sudah dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa mengelahkan sholatnya. Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan haram, tetapi makruh. Demikian pula semua kegiatan bisnis dan nonbisnis diqiyaskan hukumnya dengan jual beli, karena sama-sama bisa melengahkan sholat.
Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul fiqhi, karena menyamakan suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah yang telah ada nash hukumnya berdasarkan persamaan illat hukumnya (motif hukumnya) yakni :
  1. Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur yang sama, ialah memabukkan dan merusak saraf otak/akal
  2. Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang sama, ialah mempercepat waktu untuk menerima warisan.
  3. Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat jum'at dapat melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang wajib itu.
Dari contoh-contoh qiyas di atas, dapatlah diketahui bahwa qiyas itu mempunyai 4 (empat) rukun unsur, yaitu :
  1. Ashl (pokok), ialah masalah yang telah ada nashnya mengenai hukumnya. Ashl juga disebut maqis 'alaih (yang disamai) dan musyabbah bih (yang diserupai).
  2. Far' (cabang), ialah masalah yang tidak ada nashnya mengenai hukumnya. Far' juga disebut maqis (yang disamakan) dan musyabbah (yang diserupakan)
  3. Hukum ashl (hukum pokok), ialah hukum syara' yang telah ditetapkan nashnya untuk pokok dan dikehendaki hukumnya berlaku juga untuk cabang
  4. Illat hukum, ialah yang menjadi motif (alasan) adanya ketentuan hukum pada ashl, dan ingin dicari apakah illat hukum pada pokok itu juga terdapat pada cabang.
Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua yakni ashl dan far' tidak ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok sudah ada kepastian hukumya dengan nash, dan far' (masalah cabang) belum ada kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma' dan juga tidak ada hambatan yang menghalangi persamaan hukumnya pada masalah pokok dan cabang.
Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua, yakni ashl dan far' tidak  ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok sudah ada kepastian hukumnya dengan nash, dan far' (masalah cabang) belum ada kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma', dan juga tidak ada hambatan yang menghalangi dipersamakan hukumnya pada masalah pokok dan cabang.
Mengenai rukun qiyas yang ketiga, yakni hukum ashl, maka untuk berlakunya hukum pokok pada cabang ada syarat-syarat nya. Sebab tidak setiap hukum syara' yang ditetapkan nash untuk suatu masalah itu bisa diterapkan pada masalah lain dengan jalan qiyas,  tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Hukum syara' pada pokok harus ditetapkan dengan nash Al-Qur'an atau Sunnah. Karena itu, hukum syara' yang ditetapkan dengan jima', tidak atau bisa diterapkan hukumnya pada masalah lain masih dipersoalkan ulama. Menurut Abdul Wahab Khallaf, tidak bisa dipakai qiyas. Sebab hukum yang berdasarkan ijma' itu belum tentu mempunyai landasan nash, sehingga kalau tidak ada landasan nashnya, maka tak ada jalan untuk memahami illat hukumnya, padahal illat hukum itu merupakan unsur yang sangat vital untuk pemakaian qiyas. Tetapi menurut Asy Syaukani, pengarang kitab Irsya dul Fahul, ijma' bisa menjadi landasan qiyas. Apakah hukum syara' yang ditetapkan dengan jalan qiyas, bisa diterapkan pada masalah lain? Tidak bisa sama sekali, dan mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya mengharamkan perasaan buah apel karena menyamakannya dengan perasaan buah kurma. Qiyas macam ini tidak sah, sebab kalau perasaan apel memang sama dengan perasaan kurma (sama-sama mengandung unsur memabukkan dan merusak saraf otak), maka tentunya perasaan apel itu sama dengan khamar(perasaan anggur) yang keharamnya berdasarkan nash Al-Qur'an. Jadi, kalau mengharamkan perasaan apel itu dengan diqiyaskan pada perasaan anggur, kalau benar-benar sama mengandung unsur memabukkan dan merusak akal. Jika tidak sama dengan khamar, maka tidak sama hukumnya.
  2. Hukum syara' pada pokoknya harus bisa dijangkau oleh akal untuk memahami illatnya. Sebab jika kita tidak bisa menangkap illatnya, kita tidak bisa menggunakan qiyas, karena landasan qiyas adalah illat hukumnya yang bisa kita tangkap. Sebenarnya semua hukum syara' disyariatkan atas dasar kepentingan atau kemaslahatan manusia dan atas sebab-sebab yang menjadi landasan adanya hukum-hukum syara' itu. Tiada suatu hukum syara' yang disyariatkan dengan main-main tanpa ada illat/motif hukumnya. Hanya saja hukum-hukum syara' itu ada yang bersifat ta'abbudi atau tidak bisa dirasionalkan, dan ada pula hukum-hukum yang bisa dirasionalkan. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat ta'abbudi atau yang tidak bisa dirasionalkan misalnya, ketentuan jumlah rakaat dalam sholat lima waktu, ketentuan hukum had untuk tindak pidana, hukuman kaffarat.
  3. Hukum syara' pada pokok-pokok harus bersifat umum, bukan merupakanhal yang khusus atau pengecualian, misalnya larangan mengawini istri Nabi setelah Nabi wafat. Dan kesaksian dalam peradilan yang cukup seorang saksi saja, yakni sahabat Khuzaimah bin tsabit. Padahal nash-nash Al-Qur'an dan sunnah menunjukkan bahwa wanita yang sudah meninggal suaminya dan sudah habis masa iddahnya boleh dinikahi oleh laki-laki lain. larangan menikahi istri Nabi merupakan hal yang khusus untuk istri Nabi, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan selain istri-istri Nabi.
Pengertian Qiyas, Contohnya dan Motif Hukumnya serta Rukun Unsurnya Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

0 comments:

Post a Comment