Pengertian Qira'ah, Qira'ah Menurut Para Ahli & Konsep Qira'ah Dalam Al-Qur'an
Al-Quran
merupakan pedoman hidup umat Islam. al-Quran dijadikan sebagai sumber norma dan
nilai normatif yang mengatur seluruh kehidupan umat Islam. Oleh karena itu,
kebutuhan untuk membumikan norma dan nilainilai yang terkandung dalam al-Quran
atau mengintegrasikannya ke dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam selalu
muncul ke permukaan, termasuk mengintegrasikannya ke dalam ilmu manajemen dan
pendidikan.
Menurut
M. Ghalib, al-Quran merupakan hadiah sekaligus hidayah bagi umat
Islam. Bahkan menurutnya, Al-Quran bisa menjadi sumber kajian ilmu pengetahuan,
bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi siapa saja termasuk non muslim
yang memang secara serius dan bersungguh-sungguh mengkaji atau mendalaminya.[1]
Setiap kajian yang dilakukan terhadap Al-Quran, akan selalu menghasilkan
temuan-temuan baru sesuai dengan perspektif yang digunakannya. Al-Quran
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang masing-masing.[2]
Sebagai
sebuah pedoman hidup umat Islam dalam menghadapi kehidupan ini, maka Al-Quran
diyakini mengandung petunjuk bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia
serta arahan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Al-Quran, tidak
hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalat, jinayat tapi juga berbicara
pesoalan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, alam raya serta
perosalan-persoalan ilmu pengetahuan lainnya. Al-Quran Surat Al-An’am ayat 38
menegaskan bahwa :
Terjemah:
Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab.5 QS. 6 [Al-An’am]:
38
Terjemah:
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
… QS. 16 [Al-Nahl]: 89
Kedua
Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikitpun dan atau
lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu. Imam Al-Ghazali,
sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab,[3]
menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang
kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran
Al-Karim. Artinya, Al-Quran merupakan sumber ilmu pengetahuan yang telah ada,
dan darinya pula dapat digali dan dikembangkan ilmu-ilmu pengetahaun baru yang
belum diketahui oleh manusia sebelumnya.
Terjemah:
Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus …QS.
17 [Al-Isra] : 9
Kesan pesan dan petunjuk Al-Quran akan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Namun demikian, Al-Quran
bukan merupakan kitab ilmiah, sebab kitab ilmiah, disamping menggunakan metode
ilmiah juga kebenaran yang dikandungnya adalah tentative, sementara Al-Quran
adalah kitab wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Absolut, maka kebenaran
yang dikandungnya adalah kebenaran absolut. Adapun pembicaraan mengenai
hubungan antara. Al-Quran dan ilmu pengetahuan harus dipahami dengan pengertian
bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk yang jiwa ayat-ayatnya tidak menghalangi
kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan begitu banyak ayat Al-Quran yang menyuruh
umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Begitu juga, tidak ada satu ayat Al-Quranpun
yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah.[4]
Telah kita
ketahui bersama bahwa bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang
secara “sporadic” terbesar disepanjang “Jazirah arab”. Setiap suku mempunyai
format dialek yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan
dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio cultural dari
masing-masing suku lainnya.
Disisi lain, perbedaan itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan dalam melafalkan Al-Quran. Lahirnya bermacam-macam bacaan itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami, artinya tidak dapat dihindari lagi.
Disisi lain, perbedaan itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan dalam melafalkan Al-Quran. Lahirnya bermacam-macam bacaan itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami, artinya tidak dapat dihindari lagi.
A.
Pengertian
Qira’ah
Secara
etimologi, kata qira’ah seakar dengan kata al-Quran, yaitu akar kata dari kata
qara’a yang berarti tala (membaca). Qira’ah merupakan bentuk masdar (verbal noun) dari kata qara’a, yaitu
artinya bacaan.[5]
Sedangkan
secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan
oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’ah ini ditetapkan
berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’(ahli atau imam qira’ah) yang
mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang-orang menurut cara mereka
masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir para
ulama diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi:
إختلاف الفاظ الوحي
المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.
Artinya:
“Qira’ah adalah
perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-Quran, baik menyangkut
huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif
(meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.[6]
2. Menurut As-Shabuni:
مدهب من مدهب النطق فى
القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
“Qira’ah adalah suatu madzhab pelafalan Al-Quran yang dianut salah
seorang imam berdasarkan sanad-sanad
yang bersambung kepada rasul.
3.
Menurut
Al-Qasthalani:
“Suatu
ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.
Dari definisi di atas, tampak bahwa Qira’ah al-Quran itu berasal dari
Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian
ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah Qira’ah yang diperoleh dengan
cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql
yaitu Qira’ah yang diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qira’ah
itu dibacakan Nabi Saw.
Selain
itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi Qira’ah dengan madzhab atau
imam Qira’ah tertentu, selaku pakar Qira’ah yang bersangkutan,dan atau yang
mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan
dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan
suatu Qira’ah al-Quran kepada salah seorang imam Qira’ah dan kepada orang-orang
sesudahnya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.
1.
القرأت :Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada
salah seorang imam tertentu seperti, Qira’ah Nafi.
2.
الرواية :Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada
salah seorang perawi Qira’ah dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3.
الطريق:Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah
seorang perawi Qira’ah dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4.
الوجه :Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada
salah seorang pembaca al-Quran berdasarkan pilihannya terhadap versi Qira’ah
tertentu.
Informasi
tentang Qira’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’)
dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenal bacaan ayat-ayat al-Quran,
kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga
sekarang. Cara lain
ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan
kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
B.
Konsep
Qira’ah dalam al-Quran
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (ayat 1). Dalam
waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam
perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu yang diturunkan
kepada beliau itu atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.
Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal
darah.” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu
segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si
perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal
darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40
hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).[7]
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca.
Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai
menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya
juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis,
namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan,
sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah
dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai
menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan
kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi
nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan
berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’
Ammanya menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada
air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya
kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini
dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki
isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula
beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula
Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu
kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan
Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari.
Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya
itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”
“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha
Mulia.” (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas
nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi
menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan
diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan,
Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
“Dia yang mengajarkan dengan qalam.” (ayat 4).
Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu
diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia,
diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam.
Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa
dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak
hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan
oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu.” (ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia
mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam
itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat
pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah
ada dalam tangannya:
“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang
buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah
buruanmu dengan tali yang teguh.”[8]
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai
ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah
menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu
daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan
halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori,
vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya
ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia
bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya
dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai
sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga
kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas
penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh
Muhammad Abduh dalam tafsirnya: “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam
dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan
kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan
bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.”
Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk
ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala
selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu
pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka
terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka
sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu
ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi
selama-lamanya.
Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada
dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah
mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan.
Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam
atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang
tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama.
Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan.
Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa
Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan
nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.
Dalam Shahih-nya Bukhari
meriwayatkan dari Aisyah ra. yang artinya demikian, “Wahyu pertama yang sampai
kepada Rasul adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal
itu datang seperti cahaya Shubuh. Setelah itu beliau senang berkhalwat. Beliau
datang ke gua Hira dan menyendiri di sana, beribadah selama beberapa malam.
Yang untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan membawa
bekal serupa. Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu, saat beliau
berada di gua Hira. Malaikat datang kepadanya dan berkata, “Bacalah!” Beliau
menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” lalu Rasulullah saw. berkata, “Lalu di
merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, ‘Bacalah!’ Aku
katakan, ‘ Aku tidak bisa membaca.’ Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan
melepaskanku. Ia berkata,
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (Al-Hadits).
Dengan demikian maka awal surat ini
menjadi ayat pertama yang turun dalam Al-Quran sebagai rahmat dan petunjuk bagi
manusia. Wahyu pertama yang sampai kepada Nabi saw. adalah perintah membaca dan
pembicaraan tentang pena dan ilmu. Tidakkah kaum Muslimin menjadikan ini
sebagai pelajaran lalu menyebarkan ilmu dan mengibarkan panjinya. Sedangkan
Nabi yang ummi ini saja perintah pertama yang harus dikerjakan adalah membaca
dan menyebarkan ilmu. Sementara ayat berikutnya turun setelah itu. Surat
pertama yang turun secara lengkap adalah Al-Fatihah.
Pengertian ringkas ayat-ayat ini
adalah: Agar kamu menjadi orang yang bisa membaca, ya Muhammad. Setelah tadinya
kamu tidak seperti itu. Kemudian bacalah apa yang diwahyukan kepadamu. Jangan
mengira bahwa hal itu tidak mungkin hanya dikarenakan kamu orang ummi,
tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Allah-lah yang menciptakan alam ini,
yang menyempurnakan, menentukan kadarnya, dan memberi petunjuk. Yang
menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia dan menguasainya serta
membedakannya dari yang lain dengan akal, taklif, dan pandangan jauhnya.
Allah swt. menciptakannya dari darah beku yang tidak ada rasa dan gerak.
Setelah itu ia mnejadi manusia sempurna dengan bentuk yang paling indah.
Allah-lah yang menjadikanmu mampu membaca dan memberi ilmu kepadamu ilmu
tentang apa yang tadinya tidak kamu ketahui. Kamu dan kaummu tadinya tidak
mengetahui apa-apa. Allah juga yang mampu menurunkan Al-Quran kepadamu untuk
dibacakan kepada manusia dengan pelahan. Yang tadinya kamu tidak tahu, apa
kitab itu dan apa keimanan itu?
Bacalah dengan nama Tuhanmu, maksudnya
dengan kekuasaan-Nya. Nama adalah untuk mengenali jenis dan Allah dikenali
melalui sifat-sifat-Nya. Yang menciptakan semua makhluk dan menyempurnakan
sesuai dengan bentuk yang dikehendaki-Nya. Dan Allah swt. telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.
Bacalah, ya Muhammad. Dan Tuhanmu
lebih mulia dari setiap yang mulia. Karena Allah swt. yang memberikan kemuliaan
dan kedermawanan. Maha Kuasa daripada semua yang ada. Perintah membaca
disampaikan berulang-ulang karena orang biasa perlu pengulangan termasuk juga
Al-Mushtafa Rasulullah saw. Karena Allah sebagai Dzat yang paling mulia
dari semua yang mulia, apa susahnya memberikan kenikmatan membaca dan menghapal
Al-Quran kepadamu tanpa sebab-sebab normal. Silakan baca firman Allah,
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.” (Al-Qiyamah:
17).
“Kami akan
membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.” (Al-A’la: 6).
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
Maha Mulia dan mengajarkan manusia untuk saling memahami dengan pena, meski
jarak dan masa mereka sangat jauh. Ini merupakan penjelasan tentang salah satu
indikasi kekusaan dan ilmu (manusia).
“Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Allah memberikan insting dan kemampuan
berpikir kepada manusia yang menjadikannya mampu mengkaji dan mencerna serta
mencoba sampai ia mampu menyibak rahasia alam. Dengan demikian ia dapat
menguasai alam dan menundukkannya sesuai dengan yang diinginkannya.
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (Al-Baqarah: 29).
“Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya” (Al-Baqarah: 31).
Nampaknya Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk membaca secara umum dan khususnya membaca Al-Quran. Setelah itu
Allah menjelaskan bahwa hal itu sangat mungkin bagi Allah yang menciptakan
semua makhluk dan menciptakan manusia dari segumpal darah. Dia-lah yang Maha
Mulia dan tidak pelit terutama terhadap Rasul-Nya. Dialah yang mengajarkan
manusia dengan pena tentang apa yang belum pernah diketahuinya.
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya
serba cukup. Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).”
Sungguh benar, bahwa manusia itu
melampaui batas, sombong, dan keterlaluan melakukan dosa. Karena ia menganggap
dirinya tidak butuh kepada orang lain akibatnya melimpahnya harta, anak-anak,
dan lain-lain. Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ia akan kembali kepada Allah
swt. dan akan diminta pertanggung-jawaban atas semua yang dilakukan.
Mungkin anda bertanya tentang
konsiderasi ayat-ayat ini. Saya katakan bahwa ketika Allah swt. menyebutkan
indikasi kekuasaan dan ilmu serta kesempurnaan nikmat yang dianugerahkan kepada
manusia. Tujuannya adalah agar manusia tidak ingkar nikmat. Namun apa lacur,
ternyata manusia benar-benar mengingkari dan melampaui batas. Oleh karena itu
Allah swt. ingin menjelaskan sebabnya, bahwa cinta dunia, tertipu olehnya, dan
berambisi terhadapnya dapat menyibukkannya dari melihat ayat-ayat Allah yang
agung.[9]
Setelah memerintahkan Nabi-Nya untuk
membaca wahyu yang ada di dalam kitab-Nya dan menjelaskan penyebab kekafiran
manusia, Allah membuat perumpamaan gembong kekafiran, yakni Abu Jahal.
Kendatipun pengertian ayat tersebut umum.
Ceritakan kepada-Ku, ya Muhammad,
tentang seseorang yang melarang hamba untuk tunduk kepada Allah dan melakukan
shalat. Apa urusanya? Orang itu sungguh mengherankan, ia kafir dan bermaksiat
kepada Tuhannya. Ia melarang orang lain melakukan kebaikan terutama shalat.
Ceritakan kepada-Ku tentang kondisi orang tersebut, kalau memang ia termasuk
golongan kanan dan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk setelah itu ia
mengajak orang lain kepada ketakwaan dan kebaikan. Kalau orang itu seperti ini
keadaannya tentu ia berhak mendapatkan pahala yang besar dan surga sebagai
tempat tinggalnya.
Ceritakan kepada-Ku tentang orang
yang berdusta serta berpaling dari kebenaran lalu mengerahkan segenap
potensinya untuk mengejar apa yang diinginkan. Tidakkah mereka tahu bahwa Allah
swt. melihat? Sebenarnya mereka mengakui bahwa Allah swt. mengetahui yang gaib
dan yang nyata lalu akan membalas masing-masing orang sesuai dengan amal
perbuatannya. Kalau amalnya baik balasannya baik dan kalau amalnya buruk
dibalas dengan keburukan. Maka bergegaslah kalian, wahai manusia, menuju Allah,
bertaubatlah dan beramallah untuk mendapatkan ridha-Nya.
Kalla, kata penolakan bagi orang yang
bermaksiat kepada Allah. Aku bersumpah, jika orang-orang kafir dan pelaku
kemaksiatan itu tidak menyudahi perbuatan mereka, Kami akan menyiksa mereka
dengan siksaan yang pedih. Kami akan hinakan mereka serendah-rendahnya sesuai
dengan tingkat kesombongan mereka di dunia. Dan bagi Allah hal itu tidaklah
sulit. Akan Kami tarik ubun-ubun mereka dengan kasar. Ubun-ubun yang sering menyombongkan
dirinya karena kekuatan dan keyakinanya bahwa dirinya akan selamat dari murka
Allah. Padahal tidak ada yang bisa mengalahkan Allah, baik yang ada di bumi
maupun di langit. Tentu saja dugaan tersebut salah karena mereka melampaui
batas dan berlaku jahat, khususnya terhadap orang-orang baik dan jujur. Kami
akan hinakan orang seperti ini, maka biarkan saja malaikat yang memanggil
mendorong mereka semua. Bahkan Kami, Allah swt. akan memanggil Zabaniyah. Yakni
Allah swt. akan memanggil Zabaniyah, penjaga Jahannam untuk mendorong mereka.
“Pada hari
mereka didorong ke neraka Jahannam dengan sekuat- kuatnya.”
Pada saat itu mereka tidak memiliki
penolong maupun pembantu.
Kalla, tinggalkan orang kafir itu dengan
perbuatannya dan jangan sampai mengganggunya, ya Rasulullah. Bersujudlah selalu
untuk Allah serta mendekatlah kepada-Nya melalui ibadah, karena ibadah
merupakan benteng yang kokoh dan jalan keselamatan.
KESIMPULAN
1. Membaca
merupakan hal yang sangat penting dan perlu dilestarikan dalam upaya
merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok
ajaran al-Quran.
2. Membaca
merupakan proses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi atas
keterpurukan yang di sandang saat ini.
Setelah
membahas Konsep Qira’ah dalam al-Quran. Maka kami berharap Qira’ah dalam hal
ini membaca lebih di perhatikan lagi, terutama membaca al-Quran sebab al-Quran
bisa memberi syafaat bagi orang yang sering membacanya ketika hidup di dunia
dan dari hasil bacaan itu diharapkan bisa dilaksanakan didalam kehidupan
sehari- hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan
Terjemah
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas
pelbagai persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke IV.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.
Manna al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3
Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum
al-Quran, Jilid 1
http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq
[1] . M. Ghalib, dalam acara Kuliah yang
dilaksanakan di Pascasarjana UMI, hari
Sabtu tanggal 09 Mei 2015
[2] . M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas
pelbagai persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke IV., h. 3
[3]. M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. keIV., h. 3
[4]. M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an;…, h.41
[5]. Manna
al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3, h. 170
[6]. Badaruddin
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1,
h. 395
[7].
http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq
[8].
http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq
0 comments:
Post a Comment