BLOG TENTANG : PENGERTIAN, MANFAAT, PENDIDIKAN, KESEHATAN, SERTA CARA, PETUNJUK DAN DO'A-DO'A

Pengertian Qira'ah, Qira'ah Menurut Para Ahli & Konsep Qira'ah Dalam Al-Qur'an

Pengertian Qira'ah, Qira'ah Menurut Para Ahli & Konsep Qira'ah Dalam Al-Qur'an 
Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam. al-Quran dijadikan sebagai sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membumikan norma dan nilainilai yang terkandung dalam al-Quran atau mengintegrasikannya ke dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam selalu muncul ke permukaan, termasuk mengintegrasikannya ke dalam ilmu manajemen dan pendidikan.
Menurut M. Ghalib, al-Quran merupakan hadiah sekaligus hidayah bagi umat Islam. Bahkan menurutnya, Al-Quran bisa menjadi sumber kajian ilmu pengetahuan, bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi siapa saja termasuk non muslim yang memang secara serius dan bersungguh-sungguh mengkaji atau mendalaminya.[1] Setiap kajian yang dilakukan terhadap Al-Quran, akan selalu menghasilkan temuan-temuan baru sesuai dengan perspektif yang digunakannya. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.[2]
Sebagai sebuah pedoman hidup umat Islam dalam menghadapi kehidupan ini, maka Al-Quran diyakini mengandung petunjuk bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia serta arahan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Al-Quran, tidak hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalat, jinayat tapi juga berbicara pesoalan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, alam raya serta perosalan-persoalan ilmu pengetahuan lainnya. Al-Quran Surat Al-An’am ayat 38 menegaskan bahwa :
Terjemah: Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab.5 QS. 6 [Al-An’am]: 38
Terjemah: Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu … QS. 16 [Al-Nahl]: 89
Kedua Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikitpun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu. Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab,[3] menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Artinya, Al-Quran merupakan sumber ilmu pengetahuan yang telah ada, dan darinya pula dapat digali dan dikembangkan ilmu-ilmu pengetahaun baru yang belum diketahui oleh manusia sebelumnya.
Terjemah: Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus …QS. 17 [Al-Isra] : 9
 Kesan pesan dan petunjuk Al-Quran akan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Namun demikian, Al-Quran bukan merupakan kitab ilmiah, sebab kitab ilmiah, disamping menggunakan metode ilmiah juga kebenaran yang dikandungnya adalah tentative, sementara Al-Quran adalah kitab wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Absolut, maka kebenaran yang dikandungnya adalah kebenaran absolut. Adapun pembicaraan mengenai hubungan antara. Al-Quran dan ilmu pengetahuan harus dipahami dengan pengertian bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk yang jiwa ayat-ayatnya tidak menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan begitu banyak ayat Al-Quran yang menyuruh umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Begitu juga, tidak ada satu ayat Al-Quranpun yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah.[4]

Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara “sporadic” terbesar disepanjang “Jazirah arab”. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio cultural dari masing-masing suku lainnya.
Disisi lain, perbedaan itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan dalam melafalkan Al-Quran. Lahirnya bermacam-macam bacaan itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami, artinya tidak dapat dihindari lagi.


A.  Pengertian Qira’ah
Secara etimologi, kata qira’ah seakar dengan kata al-Quran, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Qira’ah merupakan bentuk  masdar (verbal noun) dari kata qara’a, yaitu artinya bacaan.[5]
Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’ah ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’(ahli atau imam qiraah) yang mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada  beberapa definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:

1.      Menurut Az-Zarkasyi:

إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.

   Artinya:
  “Qira’ah adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.[6]
2.      Menurut As-Shabuni:

مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya:
“Qira’ah adalah suatu madzhab pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang  imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.
3.      Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Dari definisi di atas, tampak bahwa Qira’ah al-Quran itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah Qira’ah yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu Qira’ah yang diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qira’ah itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi Qira’ah dengan madzhab atau imam Qira’ah tertentu, selaku pakar Qira’ah yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’ah al-Quran kepada salah seorang imam Qira’ah dan kepada orang-orang sesudahnya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.
1.      القرأت :Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu seperti, Qira’ah Nafi.
2.      الرواية :Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi Qira’ah dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3.      الطريق:Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi Qira’ah dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4.      الوجه :Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-Quran berdasarkan pilihannya terhadap versi Qira’ah tertentu.
Informasi tentang Qira’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenal bacaan ayat-ayat al-Quran, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.

B.  Konsep Qira’ah dalam al-Quran

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (ayat 1). Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu yang diturunkan kepada beliau itu atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.
Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).[7]
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”
“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
“Dia yang mengajarkan dengan qalam.” (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu.” (ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya:
“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.”[8]
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.

Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya: “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.”

Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.
Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.

Dalam Shahih-nya Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. yang artinya demikian, “Wahyu pertama yang sampai kepada Rasul adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal itu datang seperti cahaya Shubuh. Setelah itu beliau senang berkhalwat. Beliau datang ke gua Hira dan menyendiri di sana, beribadah selama beberapa malam. Yang untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan membawa bekal serupa. Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu, saat beliau berada di gua Hira. Malaikat datang kepadanya dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” lalu Rasulullah saw. berkata, “Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, ‘Bacalah!’ Aku katakan, ‘ Aku tidak bisa membaca.’ Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,  Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Hadits).
Dengan demikian maka awal surat ini menjadi ayat pertama yang turun dalam Al-Quran sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia. Wahyu pertama yang sampai kepada Nabi saw. adalah perintah membaca dan pembicaraan tentang pena dan ilmu. Tidakkah kaum Muslimin menjadikan ini sebagai pelajaran lalu menyebarkan ilmu dan mengibarkan panjinya. Sedangkan Nabi yang ummi ini saja perintah pertama yang harus dikerjakan adalah membaca dan menyebarkan ilmu. Sementara ayat berikutnya turun setelah itu. Surat pertama yang turun secara lengkap adalah Al-Fatihah.

Pengertian ringkas ayat-ayat ini adalah: Agar kamu menjadi orang yang bisa membaca, ya Muhammad. Setelah tadinya kamu tidak seperti itu. Kemudian bacalah apa yang diwahyukan kepadamu. Jangan mengira bahwa hal itu tidak mungkin hanya dikarenakan kamu orang ummi, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang menyempurnakan, menentukan kadarnya, dan memberi petunjuk. Yang menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia dan menguasainya serta membedakannya dari yang lain dengan akal, taklif, dan pandangan jauhnya. Allah swt. menciptakannya dari darah beku yang tidak ada rasa dan gerak. Setelah itu ia mnejadi manusia sempurna dengan bentuk yang paling indah. Allah-lah yang menjadikanmu mampu membaca dan memberi ilmu kepadamu ilmu tentang apa yang tadinya tidak kamu ketahui. Kamu dan kaummu tadinya tidak mengetahui apa-apa. Allah juga yang mampu menurunkan Al-Quran kepadamu untuk dibacakan kepada manusia dengan pelahan. Yang tadinya kamu tidak tahu, apa kitab itu dan apa keimanan itu?

Bacalah dengan nama Tuhanmu, maksudnya dengan kekuasaan-Nya. Nama adalah untuk mengenali jenis dan Allah dikenali melalui sifat-sifat-Nya. Yang menciptakan semua makhluk dan menyempurnakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki-Nya. Dan Allah swt. telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, ya Muhammad. Dan Tuhanmu lebih mulia dari setiap yang mulia. Karena Allah swt. yang memberikan kemuliaan dan kedermawanan. Maha Kuasa daripada semua yang ada. Perintah membaca disampaikan berulang-ulang karena orang biasa perlu pengulangan termasuk juga Al-Mushtafa Rasulullah saw.  Karena Allah sebagai Dzat yang paling mulia dari semua yang mulia, apa susahnya memberikan kenikmatan membaca dan menghapal Al-Quran kepadamu tanpa sebab-sebab normal. Silakan baca firman Allah,
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Al-Qiyamah: 17).
“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.” (Al-A’la: 6).
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia dan mengajarkan manusia untuk saling memahami dengan pena, meski jarak dan masa mereka sangat jauh. Ini merupakan penjelasan tentang salah satu indikasi kekusaan dan ilmu (manusia).
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Allah memberikan insting dan kemampuan berpikir kepada manusia yang menjadikannya mampu mengkaji dan mencerna serta mencoba sampai ia mampu menyibak rahasia alam. Dengan demikian ia dapat menguasai alam dan menundukkannya sesuai dengan yang diinginkannya.
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (Al-Baqarah: 29).
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya” (Al-Baqarah: 31).
Nampaknya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk membaca secara umum dan khususnya membaca Al-Quran. Setelah itu Allah menjelaskan bahwa hal itu sangat mungkin bagi Allah yang menciptakan semua makhluk dan menciptakan manusia dari segumpal darah. Dia-lah yang Maha Mulia dan tidak pelit terutama terhadap Rasul-Nya. Dialah yang mengajarkan manusia dengan pena tentang apa yang belum pernah diketahuinya.
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).”

Sungguh benar, bahwa manusia itu melampaui batas, sombong, dan keterlaluan melakukan dosa. Karena ia menganggap dirinya tidak butuh kepada orang lain akibatnya melimpahnya harta, anak-anak, dan lain-lain. Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ia akan kembali kepada Allah swt. dan akan diminta pertanggung-jawaban atas semua yang dilakukan.

Mungkin anda bertanya tentang konsiderasi ayat-ayat ini. Saya katakan bahwa ketika Allah swt. menyebutkan indikasi kekuasaan dan ilmu serta kesempurnaan nikmat yang dianugerahkan kepada manusia. Tujuannya adalah agar manusia tidak ingkar nikmat. Namun apa lacur, ternyata manusia benar-benar mengingkari dan melampaui batas. Oleh karena itu Allah swt. ingin menjelaskan sebabnya, bahwa cinta dunia, tertipu olehnya, dan berambisi terhadapnya dapat menyibukkannya dari melihat ayat-ayat Allah yang agung.[9]

Setelah memerintahkan Nabi-Nya untuk membaca wahyu yang ada di dalam kitab-Nya dan menjelaskan penyebab kekafiran manusia, Allah membuat perumpamaan gembong kekafiran, yakni Abu Jahal. Kendatipun pengertian ayat tersebut umum.

Ceritakan kepada-Ku, ya Muhammad, tentang seseorang yang melarang hamba untuk tunduk kepada Allah dan melakukan shalat. Apa urusanya? Orang itu sungguh mengherankan, ia kafir dan bermaksiat kepada Tuhannya. Ia melarang orang lain melakukan kebaikan terutama shalat. Ceritakan kepada-Ku tentang kondisi orang tersebut, kalau memang ia termasuk golongan kanan dan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk setelah itu ia mengajak orang lain kepada ketakwaan dan kebaikan. Kalau orang itu seperti ini keadaannya tentu ia berhak mendapatkan pahala yang besar dan surga sebagai tempat tinggalnya.

Ceritakan kepada-Ku tentang orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran lalu mengerahkan segenap potensinya untuk mengejar apa yang diinginkan. Tidakkah mereka tahu bahwa Allah swt. melihat? Sebenarnya mereka mengakui bahwa Allah swt. mengetahui yang gaib dan yang nyata lalu akan membalas masing-masing orang sesuai dengan amal perbuatannya. Kalau amalnya baik balasannya baik dan kalau amalnya buruk dibalas dengan keburukan. Maka bergegaslah kalian, wahai manusia, menuju Allah, bertaubatlah dan beramallah untuk mendapatkan ridha-Nya.

Kalla, kata penolakan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah. Aku bersumpah, jika orang-orang kafir dan pelaku kemaksiatan itu tidak menyudahi perbuatan mereka, Kami akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Kami akan hinakan mereka serendah-rendahnya sesuai dengan tingkat kesombongan mereka di dunia. Dan bagi Allah hal itu tidaklah sulit. Akan Kami tarik ubun-ubun mereka dengan kasar. Ubun-ubun yang sering menyombongkan dirinya karena kekuatan dan keyakinanya bahwa dirinya akan selamat dari murka Allah. Padahal tidak ada yang bisa mengalahkan Allah, baik yang ada di bumi maupun di langit. Tentu saja dugaan tersebut salah karena mereka melampaui batas dan berlaku jahat, khususnya terhadap orang-orang baik dan jujur. Kami akan hinakan orang seperti ini, maka biarkan saja malaikat yang memanggil mendorong mereka semua. Bahkan Kami, Allah swt. akan memanggil Zabaniyah. Yakni Allah swt. akan memanggil Zabaniyah, penjaga Jahannam untuk mendorong mereka.
“Pada hari mereka didorong ke neraka Jahannam dengan sekuat- kuatnya.”
Pada saat itu mereka tidak memiliki penolong maupun pembantu.
Kalla, tinggalkan orang kafir itu dengan perbuatannya dan jangan sampai mengganggunya, ya Rasulullah. Bersujudlah selalu untuk Allah serta mendekatlah kepada-Nya melalui ibadah, karena ibadah merupakan benteng yang kokoh dan jalan keselamatan.
 KESIMPULAN
1. Membaca merupakan hal yang sangat penting dan perlu dilestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-Quran.
2.   Membaca merupakan proses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi atas keterpurukan yang di sandang saat ini.

Setelah membahas Konsep Qira’ah dalam al-Quran. Maka kami berharap Qira’ah dalam hal ini membaca lebih di perhatikan lagi, terutama membaca al-Quran sebab al-Quran bisa memberi syafaat bagi orang yang sering membacanya ketika hidup di dunia dan dari hasil bacaan itu diharapkan bisa dilaksanakan didalam kehidupan sehari- hari.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemah
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke IV.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.
Manna al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3
Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1
http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq



[1] . M. Ghalib, dalam acara Kuliah yang dilaksanakan di Pascasarjana UMI, hari Sabtu tanggal 09 Mei 2015
[2] . M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. Ke IV., h. 3
[3]. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. keIV., h. 3
[4]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an;…, h.41               
[5]. Manna al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3, h. 170
[6]. Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1, h. 395
[7]. http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq

[8]. http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq

[9]. http://www.dakwatuna.com/2015/05/19/4935/tafsir-surat-al-alaq
Pengertian Qira'ah, Qira'ah Menurut Para Ahli & Konsep Qira'ah Dalam Al-Qur'an Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

0 comments:

Post a Comment