Setiap masalah menurut pandangan Islam tentu ada hukumnya, hanya kebanyakan masalah masih dipandang perlu untuk dikaji disebabkan oleh tidak adanya nash yang qath'i baik di dalam Al-Qur'an maupun hadits, sehingga dibutuhkan para mujtahid mengkaji agar hukumnya bisa diketahui oleh kaum muslim tanpa ada lagi sifat keraguan hukum dari masalah tersebut, cuma dalam mengkaji masalah kadang para ulama berbeda cara menafsirkan. namun semuanya itu adalah bertujuan untuk memperjelas masalah tersebut. Oleh karenanya mujtahid sangat dibutuhkan dalam menetapkan suatu hukum. pada tulisan kali ini kami akan membahas tentang pengertian ijttihad dan pembagiannya
Ada beberapa pengertian tentang Ijtihad yang dirumuskan oleh ulama fiqhi dan ulama ushul fiqhi antara lain :
Apabila ulama berhasil menemukan kesamaan sifat yang ada pada masalah yang dicari hukumnya, dengan sifat penyebab hukumnya, maka berarti telah ditemukan illat yang sama anatara kedua masalah tersebut. Hal ini dinamakan tahqiq al-amanath. Setelah diketahui adanya persamaan hukum antara masalah yang dicari hukumnya itu sama, maka itulah yang disebut dengan manathul hukmi.
Masalah-masalah kalau dipandang dari segi hukum Islam ada dua macam, yaitu masalah yang bukan ijtahidiyah dan masalah yang ijtahidiyah.
*Masalah-masalah yang bukan ijtahidiyah ialah masalah-masalah yang tidak bisa menjadi sasaran ijtihad yakni :
Ada beberapa pengertian tentang Ijtihad yang dirumuskan oleh ulama fiqhi dan ulama ushul fiqhi antara lain :
- Ijtihad, ialah mengerahkan segenap kemampuan berfikir untuk mencari dan menetapkan hukum-hukum syara' dari dalil-dalilnya yang tafshili (terinci)
- Ijtihad, ialah mencurahkan segenap kemampuan secara maksimal untuk mengistimbatkan (menetapkan) hukum atau menetapkan hukum.
- Ijtihad yang sempurna, khusus unntuk sekelompok kecil ulama yang benar-benar mampu mengistimbatkan (menggali dan menetapkan) hukum-hukum syara' dari dalil-dalinya yang tafshili. Ijtihad yang pertama ini menurut para kebanyakan ulama (Jumhur) kadang-kadang mengalami kevakuman (kekosongan) pada suatu waktu, karena tiadanya seseorang yang menenuhi syarat-syarat untuk melakukan ijtihad dalam arti istimbat hukum. Sedangkan menurut ulama Hambali tidak boleh ada kevakuman mujtahid yang mampu melakukan istimbat hukum.
- Ijtihad yang dilakukan ulama yang kemampuannya dibawah dari kemapuan ulama diatas, yakni mereka hanya mampu memahami ketentuan-ketentuan hukum dari nash dan illat-illat hukumnya. Kemudian mereka menerapkan hukum masalah yang sudah ada nashnya itu kepada masalah-masalah lain yang tidak ada nashnya, karena dipandang ada persamaan illat hukumnya antara masalah yang sudah ada hashnya dengan masalah-masalah lain yang tidak ada nashnya.
Apabila ulama berhasil menemukan kesamaan sifat yang ada pada masalah yang dicari hukumnya, dengan sifat penyebab hukumnya, maka berarti telah ditemukan illat yang sama anatara kedua masalah tersebut. Hal ini dinamakan tahqiq al-amanath. Setelah diketahui adanya persamaan hukum antara masalah yang dicari hukumnya itu sama, maka itulah yang disebut dengan manathul hukmi.
Masalah-masalah kalau dipandang dari segi hukum Islam ada dua macam, yaitu masalah yang bukan ijtahidiyah dan masalah yang ijtahidiyah.
*Masalah-masalah yang bukan ijtahidiyah ialah masalah-masalah yang tidak bisa menjadi sasaran ijtihad yakni :
- Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya oleh nash qath'i (Pasti) adanya, dan petunjuk dari Al-Qur'an dan sunnah yang mutawatir, seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji. Demikian pula kehalalan jual beli, bagian warisan anak laki-laki dua kali dari bagian anak perempuan. Demikian pula dengan ketentuan waktu, ukuran, atau jumlah berdasarkan hadits mutawatir adalah termasuk masalah yang bukan sasaran ijtihad. Misalnya waktu-waktu sholat dan rakaatnya, ketentuan nisab zakat dan sebagainya.
- Masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali, tetapi para mujtahid sepakatmengenai hukumnya, seperti tidak sah perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, memberikan hak waris sebanyak seperenam kepada nenek.
- Masalah-masalah yang telah ada nashnya yang zhanni(diduga) adanya dan petunjuknya, yakni nashnya yang berupa hadits ahad. Dalam hal ini mujtahid dapat melakukan pengkajian mengenai sanad dan matan haditsnya, untuk menemukan shahih tidaknya hadits tersebut. Si mujtahid juga bisa mengkaji dilalah (petunjuk nashnya) terhadap hukum yang dicari untuk mengetahui kuat dan lemahnya petunjuknya. Demikian pula si mujtahid dapat mengkaji keumuman dan kekhususan nash tersebut, dan sebagainya.
- Masalah-masalah yang telah ada nash yang qath'i (pasti) adanya ayat Al-Qur'an atau hadits mutawatir, tetapi dzanni petunjuknya terhadap hukum yang dicarinya. Misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang mengandukng lafal musytarak, yaitu quru', yang antinya menurut bahasa mengandng dua arti yaitu suci dan haid. Karena itu petunjuk ini terhadap hukum tentang iddah wanita yang dicerai bersifat dzanni. Dan itulah sebabnya dua penafsiran dikalangan para ulama tentang ayat ini. Ada ulama yang berpendapat, iddah wanita itu tiga kali suci dan ada ulama berpendapat iddah wanita 3 kali haid.
- Masalah-masalah yang telah ada nashnya yang dzanni adanya dan yang qath'i petunjuknya. Dalam hal ini tidak terdapat di dalam Al-Qur'an, tetapi hanya terdapat dalam hadits. Dalam hal ini si mujtahid mengkaji tentang sanad dan matangnya untuk menetapkan sahih/tidaknya.
- Masalah-masalah yang tidak ada nashnya dan belum tercapai ijma' mengenai hukumnya, dan itulah yang dikatakan ijtihad degan ra'yu. Tugas mujtahid adalah mencari/menggali hukumnya melalui metode qiyas, istihsan, maslahah-mursalah, 'urf/adat dan sebagainya.
0 comments:
Post a Comment