Dalam lembaran sejarah Islam beberapa tokoh besar yang mendapat julukan sebagai status mujaddid. Jika mujaddid di abad ke 11 masehi adalah Imam Al-gazali yang dujuki sebagai hujjatul Islam karena berhasil menggabungkan atara syariat dengan tarekat secara teoritis. Dan pada abad ke 12 M/6H juga telah diduduki oleh seorang ulama besar yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara ptaktis dan mendapat julukan "Quthubul auliya' serta ghautsul a'dzam" orang suci terbesar dalam islam dan dialah Syekh Abdul Qadir Al-Jalani. Jika nama Al-gazali dikenal dalam studinya tentang tasawwuf, maka Syekh Abdul Qadir Al-Jalani lebih menjurus kepada ajaran amaliah, sehingga namanya populer sebagai ulama wushuliyya.
Nana lengkap dari Syekh Abdul Qadir Al-Jalani adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Dilahirkan di Desa Naif Kurdistan Selatan sebelah timu laut kota Baghdad Iran.
Syekh Abdul Qadir Al-Jalani dilahirkan pada waktu fajar hari senin 1 Ramadhan 470 H, bertepatan pada tahun 1077 M. Syekh Abdul Qadir Al-Jalani wafat pada hari sabtu 11 Rabiuts-tsani 561 H/1166 M. Dia dikenal sebagai munakib tokoh sufi yang dikenal dengan penuh fiksi tanpa mendasarkan pada sejarah. Sehingga banyak ulama mengatakan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jalani merupakan seorang mujtahid abad ke 14.
Syekh Abdul Qadir Al-Jalani, lahir sudah dalam keadaan yatim, karna ayahnya wafat pada saat dia masih berusia 6 bulan dalam kandungan ibunya ditangah keluarga yang hidup sederhana. Nama ayahnya bernama al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat. Dia adalah seorang ulama fuqaha ternama pada mazhab Hambali dan garis silsilah keluarganya berujung pada Hasan bin Abi Thalib menantu Rasulullah SAW.
Sedangkan ibunya bernama Ummul Khair Fatimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i dan dia seorang sufi terkemuka waktu itu. Dan silsilah keluarga dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yaitu sampai pada Hasan Bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai Kepada nabi Ibrahimmelalui Kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah Dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.
keistimewaan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sudah tampak ketika dilahirkan. Konon, Ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuag usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga magrib.
Namun,kebesara Syekh Abdukl Qadir al-Jailani bukan semata-mata karena faktor nasab dan keramahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur dan berbakti kepada orang tua. Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasai Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mashab Syafi'i di Baghdad.
Disamping itu, ia juga dikenal sebagai alim dan wara. Hal ini berikatan dengan ajaran sufi yang diajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu. Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah. Al-jailani dikenal juga sebagai orang yang memeberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki 'Muhyidin' (penghidup agama) di depan namanya. Dari perjalanan hidup Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ada beberapa hal yang perlu kita ambil pelajaran dari beliau antara lain : sifat kejujurannya, pengamalan zikir dan wirid dan karya-karyanya.
Setibanya di bagdad, al-jalani tidak lansung memasuki gerbang kota, namun memilih tinggal di gurung pasir diluar kota bagdad pada sebuah kastil (runtuhan istana raja2 kuno Persia) di daerah Karkh untuk melakukan khalwat. Namun beberapa riwayat hal ini dilakukan atas petunjuk Nabi atau guru spritual, Nabi Khidir. Selama masa khalwatnya, ia selalu dikunjungi oleh Nabi khidir utnuk memberikan pendidikan dan bimbingan. Setelah beberapa tahun, baru Al-Jalani memasuki kota Bagdad untuk menuntut ilmu.
Di Bagdad ia berniat masuk di perguruan Nizhamiyyah yang waktu itu merukan perguruan tinggi prestisius. Namun, dia ditolak oleh Ahmad al-Ghazali yang menggantikan posisi Abu Hamid al-Ghazali-karena perbedaan mazhab yang dianut. Maka, dia mengikuti semacam kursusfikih Mazhab Hambali di Madrasah Babul 'Aji yang dipimpin oleh Abu Sa'id al-Mukhrrimi.
Penolakan Ahmad al-Ghazali terhadap Al-Jailani untuk menuntut ilmu di perguruan Nizhamiyah membawa hikmah baginya. Sebab, hal ini makin membuatnya banyak bertafakur dan berkhalwat. Ia berhasil mengombinasikan antara hukum-hukum legal objektif keagamaan (dalam hal ini fikih) dan kondisi kegembiraan jiwa pribadi luar biasa, yakni aspek spritual-tasawuf yang merupakan pengalaman keagamaan subjektif (combines religion of the law with ecstatic individualism).
Menurut GE Von Grunebaum dalam Classical Islam: A History 600-1258 (Chicago, 1970), Al-Jailani terus menjaga kedudukannya sebagai orang yang suci. Selain itu, Al-Jailani-lah yang pertama kali memgang posisi sebagai pemadu syariah dan terekat sehingga menjadi harmonis dalam tataran aplikatif.Inilah yang membedakannya dengan al-Ghazali yang dipandang para pengamat sebagai pemadu syariat dan terekat, namun hanya secara teoritis, maka al-Jailani yang kemudian mewujudkannya.
Imam al-Ghazali, setelah mengalami transformasi spritualnya, mencoba melaraskan ajaran dan spritualisme Islam. Tetapi, karena ia lebih sebagai seorang ilmuwan daripada pemikir kerohanian, ia terbatas pada ajaran dan aturan, bukan penerapan spritualisme, Maka, Julian Baldick (MysticalIslam: An Introduction to Sufism, London, 2000) menyebut, al-Jailani sebagai seorang sufi yang selalu menghindari teoretisasi yang abstrak sebagaimana terdapat dalam karya-karya al-Ghazali dan penulis sufi lainnya. sya/berbagai sumber
Amalan zikir dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dikenal sebagai pelaku sufi yang ikhlas, ia juga rutin mengamalkan zikir dan wirid. Hal itu dilakukan sejak masi muda baik disiang hari maupun dimalam hari dan sholat sholat sunatnya tidak pernah terputus terutama sholat sunat tahajjud. Sedangkan zikir kesehariannya antara lain membaca Al-Qur'an paling kurang 200 ayat, surah Al-Ikhlas 100 kali,Sholawat 100 kali dan Istigfar 100 kali. Dan kalau masih ada waktu yang tersisa dia pergunakan membaca Al-Qur'an dan menela'ah isi kandungannya dengan berbagai ilmu keislaman. Tentu saja semuaitu di luar kesibukannya sebagai seorag wiraswastawan (pedagang kain sutra) sukses di Beghdad,"ujarnya.
Solikhin menambahkan, seiring dengan semakin menyebarnya ajaran tasawuf yang dikembangkannya, lambat laun pencitraan terhadap dirinya hanya terbatas pada potret kesufiannya. Padahal, antara konsep teologi, fikih-ushul fikih, dan tasawuf menjadi seimbang pada pribadi, intelektualitas, atau pola akdemis.
Sementara itu, J Spencer Trimingham (The Sulfi Orders in Islam, New York, 1971) mencatat, salah satu kesuksesan besar atas reputasi syekh adalah menjadikan masyarakat biasa memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam wawasan, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman kesufian. Sebuah prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh imam-imam sufi sepanjang zaman.
Karya-karyanya
Karyanya yang paling masyhur adalah al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq (Kecukupan bagi pencari-pencari Kebenaran). Salah satu edisinya terbit di Mesir pada tahun 1288. Didalamnnya memuat khotbah sang sufi mengenai ibadah dan akhlak, cerita-cerita tentang etika, keterangan mengenai 73 aliran-aliran Islam yang terbagi dalam 10 bagian.
Intinya pendidikan untuk menjadi Muslim yang baik. Karya ini dikenal sebagai fikih-tasuwuf yang mencernakan. Keterangannya ringkas, namun menyeluruh dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun dan juga tidak kehilangan bobot ilmiahdan intelektualitasinya.
Beberapa karya lainnya adalah al-Fath al-Rabbany yang berisi 62 Khotbah yang disampikan dalam tahun 545-546 H (1150-1152 M). Kitab kesufiannya yang terkenal adalah Futuh al-Ghayb, berisi 78 buah khotbah mengenai berbagai macam subjek keagamaan. Kitab ini berisi antara lain ajaran-ajaran sepurat akhlak (tasawuf' amali) disertai dengan silsilahnya dan keterhubungannya dengan Abu Bakar serta Umur. Secara khusus, kitab ini dianalisis oleh Walter Braune dengan judul Die Futuh al-Gaib" des Abdul Qadir (Berlin & Leipzig, tahun 1933).
Karya utuhnya mengenai seluk-seluk tasawuf berjudul Sirr al-Asrarfi ma Yahtaju Ilayhi al-Arbar (rahasia terdalam dari segala rahasia dalam menjelaskan yang diperlukan oleh ahli kebajikan). Di dalamanya dibahas secara menyeluruh tentang syariat, terikat, dan hakikat. Berisi satu mukamidah beserta 24 pasal, baik teologi-kalam, fikih-syari'at, maupun tasawuf (terikat, haqikat dan makrifat). Kitab ini menjadi rujukan pokok pada pengajian tasawuf pada ribath Qadariyyah-Naqsyabandiyyah Jabal Qubais, Mekkah.
Selain karya tersebut, kitab lainnya adalah Al-Mawahib al-Rahmaniyyah wa al-Futuh al-Rabbaniyah fi Maratib al-Akhlaq al-Sawiyah wa al-Maqamat al-Irfaniyyat; Djala' al-Khatir, yaitu berupa kumpulan khotbah yang diperkirakan disampaikan pada tahun-tahun setelah 546 H; Yawakit al-Hikam; Mulfadzat -I Jalali; Syarh-I -Ghautsiyah va Ghayra; Al-Fuyudhatal-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadarriyah, koleksi mengenai sembahyang dan praktik ritual (salah satu edisinya terbit di Kairo, 1303 H); dan Hizb Basha'ir al-Khayrat, berisi doa-doa dan penjelasan masalah shalat syariat dan tarikat (salah satu edisinya terbit di Alexandria, 1304 H).
Dibanding ajaran-ajarannya, justru pengenalan masyarakat terhadap Syekh Abdul Qadir lebih dominan pada keajaiban-keajaiban, keluarbiasaan, dan kesaktian/keampuhannya yang bersumber pada kitab-kitab manakib yang beredar di kalangan masyarakat.
Kisah hidup pertama (mengenai keajaiban al-Jailani) terdapat dalam kitab Bahjah al-Asrar karangan Ali bin Yusuf al-Syattanaufi (w 713/1314). Taqiy al-Din Abdurrahman al-Wasithi (w 1343) menulis manakib al-Jailanidalam kitab Tirayaq al-Muhibbin fi thabaqat khirqat al-masyayikh al-arifin (masih terbit di Kairo tahun 1305/1888).
Tak lama kemudian, muncul 'Afif al-Din al-Yafa'i (wafat 1367). Yang mengarang kitab yang makin memantapkan nama al-Jailani sebagai ahli keajaiban yang terbesar dalam kitab Khulasha al-Mufakhir fi ikhtishar Manaqib Al-Syaikh Abdul Qadir. Kitab terakhir ini menjadi dasar beberapa versi manakib yang beredar di Indonesia.
Setelah Yafi'i, beberapa ulama mengarang kitab yang lebih ekstrim lagi dan yang paling penting diantaranya adalah kitab Lujjain al-Dani oleh Ja'far bin Hasan Al-Barazanji. Pengarang yang dikenal di Indonesia dengan Kitab Barazanjinya
Saat Syekh Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada 1 ramadhan 471 hijriyah di desa Jilan, dekat Tabaristan Irak, sang ibundanya sudah berusia 60 tahun dan bukan usia yang lazim lagi perepuan yang biasanya melahirkan. Keajaiban lainnya tak seperti bayi pada umumnya, Syekh Abdul Qadir Jailani tak pernah menyusui kepada bundanya disiang hari di bulan ramadhan, sang bayi baru menangis minta disusui saat matahari tenggelam di ufuk barat yang menandakan datangnya waktu magrib dan uniknya keanehan itu dimanfaatkan oleh warga jihan sebagai tanda waktu untuk berbuka puasa dan juga waktu imsak.
Nana lengkap dari Syekh Abdul Qadir Al-Jalani adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Dilahirkan di Desa Naif Kurdistan Selatan sebelah timu laut kota Baghdad Iran.
Syekh Abdul Qadir Al-Jalani dilahirkan pada waktu fajar hari senin 1 Ramadhan 470 H, bertepatan pada tahun 1077 M. Syekh Abdul Qadir Al-Jalani wafat pada hari sabtu 11 Rabiuts-tsani 561 H/1166 M. Dia dikenal sebagai munakib tokoh sufi yang dikenal dengan penuh fiksi tanpa mendasarkan pada sejarah. Sehingga banyak ulama mengatakan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jalani merupakan seorang mujtahid abad ke 14.
Syekh Abdul Qadir Al-Jalani, lahir sudah dalam keadaan yatim, karna ayahnya wafat pada saat dia masih berusia 6 bulan dalam kandungan ibunya ditangah keluarga yang hidup sederhana. Nama ayahnya bernama al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat. Dia adalah seorang ulama fuqaha ternama pada mazhab Hambali dan garis silsilah keluarganya berujung pada Hasan bin Abi Thalib menantu Rasulullah SAW.
Sedangkan ibunya bernama Ummul Khair Fatimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i dan dia seorang sufi terkemuka waktu itu. Dan silsilah keluarga dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yaitu sampai pada Hasan Bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai Kepada nabi Ibrahimmelalui Kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah Dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.
keistimewaan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sudah tampak ketika dilahirkan. Konon, Ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuag usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga magrib.
Namun,kebesara Syekh Abdukl Qadir al-Jailani bukan semata-mata karena faktor nasab dan keramahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur dan berbakti kepada orang tua. Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasai Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mashab Syafi'i di Baghdad.
Disamping itu, ia juga dikenal sebagai alim dan wara. Hal ini berikatan dengan ajaran sufi yang diajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu. Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah. Al-jailani dikenal juga sebagai orang yang memeberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki 'Muhyidin' (penghidup agama) di depan namanya. Dari perjalanan hidup Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ada beberapa hal yang perlu kita ambil pelajaran dari beliau antara lain : sifat kejujurannya, pengamalan zikir dan wirid dan karya-karyanya.
Sifat Jujur Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Dalam sebuah cerita diceritakan bahwa ketika berangkat ke Bagdad Syekh Abdul Qadir Al-Jailani guna untuk menuntut ilmu, khafilah yang membawanya dihadang oleh sekelompok prampok, ketika dimintai oleh para perampok itu, dengan jujur ia mengatakan bahwa uang emas yang disimpan dikantong bajunya, ketulusan dan kejujurannya membuat para perampok itu kaget, karena jarang orang yang mau dirampok mengatakan yang sebenarnya sehingga singkat cerita para perampok itu tidak jadi merampoknya dan dia mau menjadi murid dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.Setibanya di bagdad, al-jalani tidak lansung memasuki gerbang kota, namun memilih tinggal di gurung pasir diluar kota bagdad pada sebuah kastil (runtuhan istana raja2 kuno Persia) di daerah Karkh untuk melakukan khalwat. Namun beberapa riwayat hal ini dilakukan atas petunjuk Nabi atau guru spritual, Nabi Khidir. Selama masa khalwatnya, ia selalu dikunjungi oleh Nabi khidir utnuk memberikan pendidikan dan bimbingan. Setelah beberapa tahun, baru Al-Jalani memasuki kota Bagdad untuk menuntut ilmu.
Di Bagdad ia berniat masuk di perguruan Nizhamiyyah yang waktu itu merukan perguruan tinggi prestisius. Namun, dia ditolak oleh Ahmad al-Ghazali yang menggantikan posisi Abu Hamid al-Ghazali-karena perbedaan mazhab yang dianut. Maka, dia mengikuti semacam kursusfikih Mazhab Hambali di Madrasah Babul 'Aji yang dipimpin oleh Abu Sa'id al-Mukhrrimi.
Penolakan Ahmad al-Ghazali terhadap Al-Jailani untuk menuntut ilmu di perguruan Nizhamiyah membawa hikmah baginya. Sebab, hal ini makin membuatnya banyak bertafakur dan berkhalwat. Ia berhasil mengombinasikan antara hukum-hukum legal objektif keagamaan (dalam hal ini fikih) dan kondisi kegembiraan jiwa pribadi luar biasa, yakni aspek spritual-tasawuf yang merupakan pengalaman keagamaan subjektif (combines religion of the law with ecstatic individualism).
Menurut GE Von Grunebaum dalam Classical Islam: A History 600-1258 (Chicago, 1970), Al-Jailani terus menjaga kedudukannya sebagai orang yang suci. Selain itu, Al-Jailani-lah yang pertama kali memgang posisi sebagai pemadu syariah dan terekat sehingga menjadi harmonis dalam tataran aplikatif.Inilah yang membedakannya dengan al-Ghazali yang dipandang para pengamat sebagai pemadu syariat dan terekat, namun hanya secara teoritis, maka al-Jailani yang kemudian mewujudkannya.
Imam al-Ghazali, setelah mengalami transformasi spritualnya, mencoba melaraskan ajaran dan spritualisme Islam. Tetapi, karena ia lebih sebagai seorang ilmuwan daripada pemikir kerohanian, ia terbatas pada ajaran dan aturan, bukan penerapan spritualisme, Maka, Julian Baldick (MysticalIslam: An Introduction to Sufism, London, 2000) menyebut, al-Jailani sebagai seorang sufi yang selalu menghindari teoretisasi yang abstrak sebagaimana terdapat dalam karya-karya al-Ghazali dan penulis sufi lainnya. sya/berbagai sumber
Amalan zikir dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dikenal sebagai pelaku sufi yang ikhlas, ia juga rutin mengamalkan zikir dan wirid. Hal itu dilakukan sejak masi muda baik disiang hari maupun dimalam hari dan sholat sholat sunatnya tidak pernah terputus terutama sholat sunat tahajjud. Sedangkan zikir kesehariannya antara lain membaca Al-Qur'an paling kurang 200 ayat, surah Al-Ikhlas 100 kali,Sholawat 100 kali dan Istigfar 100 kali. Dan kalau masih ada waktu yang tersisa dia pergunakan membaca Al-Qur'an dan menela'ah isi kandungannya dengan berbagai ilmu keislaman. Tentu saja semuaitu di luar kesibukannya sebagai seorag wiraswastawan (pedagang kain sutra) sukses di Beghdad,"ujarnya.
Solikhin menambahkan, seiring dengan semakin menyebarnya ajaran tasawuf yang dikembangkannya, lambat laun pencitraan terhadap dirinya hanya terbatas pada potret kesufiannya. Padahal, antara konsep teologi, fikih-ushul fikih, dan tasawuf menjadi seimbang pada pribadi, intelektualitas, atau pola akdemis.
Sementara itu, J Spencer Trimingham (The Sulfi Orders in Islam, New York, 1971) mencatat, salah satu kesuksesan besar atas reputasi syekh adalah menjadikan masyarakat biasa memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam wawasan, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman kesufian. Sebuah prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh imam-imam sufi sepanjang zaman.
Karya-karyanya
Karyanya yang paling masyhur adalah al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq (Kecukupan bagi pencari-pencari Kebenaran). Salah satu edisinya terbit di Mesir pada tahun 1288. Didalamnnya memuat khotbah sang sufi mengenai ibadah dan akhlak, cerita-cerita tentang etika, keterangan mengenai 73 aliran-aliran Islam yang terbagi dalam 10 bagian.
Intinya pendidikan untuk menjadi Muslim yang baik. Karya ini dikenal sebagai fikih-tasuwuf yang mencernakan. Keterangannya ringkas, namun menyeluruh dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun dan juga tidak kehilangan bobot ilmiahdan intelektualitasinya.
Beberapa karya lainnya adalah al-Fath al-Rabbany yang berisi 62 Khotbah yang disampikan dalam tahun 545-546 H (1150-1152 M). Kitab kesufiannya yang terkenal adalah Futuh al-Ghayb, berisi 78 buah khotbah mengenai berbagai macam subjek keagamaan. Kitab ini berisi antara lain ajaran-ajaran sepurat akhlak (tasawuf' amali) disertai dengan silsilahnya dan keterhubungannya dengan Abu Bakar serta Umur. Secara khusus, kitab ini dianalisis oleh Walter Braune dengan judul Die Futuh al-Gaib" des Abdul Qadir (Berlin & Leipzig, tahun 1933).
Karya utuhnya mengenai seluk-seluk tasawuf berjudul Sirr al-Asrarfi ma Yahtaju Ilayhi al-Arbar (rahasia terdalam dari segala rahasia dalam menjelaskan yang diperlukan oleh ahli kebajikan). Di dalamanya dibahas secara menyeluruh tentang syariat, terikat, dan hakikat. Berisi satu mukamidah beserta 24 pasal, baik teologi-kalam, fikih-syari'at, maupun tasawuf (terikat, haqikat dan makrifat). Kitab ini menjadi rujukan pokok pada pengajian tasawuf pada ribath Qadariyyah-Naqsyabandiyyah Jabal Qubais, Mekkah.
Selain karya tersebut, kitab lainnya adalah Al-Mawahib al-Rahmaniyyah wa al-Futuh al-Rabbaniyah fi Maratib al-Akhlaq al-Sawiyah wa al-Maqamat al-Irfaniyyat; Djala' al-Khatir, yaitu berupa kumpulan khotbah yang diperkirakan disampaikan pada tahun-tahun setelah 546 H; Yawakit al-Hikam; Mulfadzat -I Jalali; Syarh-I -Ghautsiyah va Ghayra; Al-Fuyudhatal-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadarriyah, koleksi mengenai sembahyang dan praktik ritual (salah satu edisinya terbit di Kairo, 1303 H); dan Hizb Basha'ir al-Khayrat, berisi doa-doa dan penjelasan masalah shalat syariat dan tarikat (salah satu edisinya terbit di Alexandria, 1304 H).
Dibanding ajaran-ajarannya, justru pengenalan masyarakat terhadap Syekh Abdul Qadir lebih dominan pada keajaiban-keajaiban, keluarbiasaan, dan kesaktian/keampuhannya yang bersumber pada kitab-kitab manakib yang beredar di kalangan masyarakat.
Kisah hidup pertama (mengenai keajaiban al-Jailani) terdapat dalam kitab Bahjah al-Asrar karangan Ali bin Yusuf al-Syattanaufi (w 713/1314). Taqiy al-Din Abdurrahman al-Wasithi (w 1343) menulis manakib al-Jailanidalam kitab Tirayaq al-Muhibbin fi thabaqat khirqat al-masyayikh al-arifin (masih terbit di Kairo tahun 1305/1888).
Tak lama kemudian, muncul 'Afif al-Din al-Yafa'i (wafat 1367). Yang mengarang kitab yang makin memantapkan nama al-Jailani sebagai ahli keajaiban yang terbesar dalam kitab Khulasha al-Mufakhir fi ikhtishar Manaqib Al-Syaikh Abdul Qadir. Kitab terakhir ini menjadi dasar beberapa versi manakib yang beredar di Indonesia.
Setelah Yafi'i, beberapa ulama mengarang kitab yang lebih ekstrim lagi dan yang paling penting diantaranya adalah kitab Lujjain al-Dani oleh Ja'far bin Hasan Al-Barazanji. Pengarang yang dikenal di Indonesia dengan Kitab Barazanjinya
Tanda-Tanda Kesufian Syekh Abdul Qadir Jailani
Syekh Abdul Qadir Jailani memang termasyhur sebagai seorang sunnatulawliya (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir, ketika masih dalam kandungan ibunya yang bernama Fatimah binti abdullah al-sama'i al-husaini dan ayahandanya bernama Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpinya Rasulullah bersabda kepadanya :"Wahai Abu Shalih, Allah akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaiman Aku mendapat pangkat teringgi dalam kenabian dan kerasulan.Saat Syekh Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada 1 ramadhan 471 hijriyah di desa Jilan, dekat Tabaristan Irak, sang ibundanya sudah berusia 60 tahun dan bukan usia yang lazim lagi perepuan yang biasanya melahirkan. Keajaiban lainnya tak seperti bayi pada umumnya, Syekh Abdul Qadir Jailani tak pernah menyusui kepada bundanya disiang hari di bulan ramadhan, sang bayi baru menangis minta disusui saat matahari tenggelam di ufuk barat yang menandakan datangnya waktu magrib dan uniknya keanehan itu dimanfaatkan oleh warga jihan sebagai tanda waktu untuk berbuka puasa dan juga waktu imsak.
0 comments:
Post a Comment