Shallallahu Alaihi Wassalam Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah nabi pembawa risalah Islam, rasul
terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan rasul-rasul Allah Subhanahu Wa Ta’ala
di muka bumi. Ia adalah salah seorang dari yang tertinggi di antara 5 rasul
yang termasuk dalam golongan Ulul Azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan
hati (QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim
Alaihissalam, Musa Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh Alaihissalam.
Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy
yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang
kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab
dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi
Ismail Alaihissalam.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dikenal dengan nama Tahun Gajah, karena pada tahun
itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah
dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur
Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka’bahnya
sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan
keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang
bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia
(Irak).
Dalam penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah
hancur karena terserang penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung Ababil
yang melempari tentara gajah. Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak
lama kemudian meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat
Al-Fîl: 1-5
. Beberapa bulan setelah penyerbuan
tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama
Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun
Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, Abdullah,
telah meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul
Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya
mereka berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan
begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul Muttalib
menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam nama ini
saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib as-Sa’diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang
baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa
tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat
Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi
keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa’ad terletak kira-kira 60
km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik
udaranya.
Di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita
bernama Halimah binti Abu Du’aib as Sa’diyah. Keluarga Halimah tergolong
miskin, karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah
sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat
menawan hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam sebagai anak asuhnya.
Ternyata kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sangat membawa berkah pada keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing
peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu
lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala kambing itu juga tumbuh
subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula suram berubah menjadi bahagia dan
penuh kedamaian. Mereka yakin sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh
itulah yang membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa. Usia
5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada
usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk
menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan
lagi padaibunya.
Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam kembali diasuh oleh Halimah karena terjadi wabah
penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun
anak-anaknya sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang memberi salam
kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu ‘Alaika ya Muhammad,”
padahal mereka tidak melihat ada orang di situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak
Halimah, berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang
bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Halimah bergegas menyusul Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat
ditanyai, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2 malaikat turun
dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku,
membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali
dadaku tanpa aku merasa sakit.”
Halimah sangat gembira melihat
keajaiban-keajaiban pada diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, namun
karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin melemah, ia terpaksa
mengembalikan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, yang saat itu berusia 4
tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjadi yatim-piatu. Aminah meninggal karena
sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke
makam ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih tanggung
jawab merawat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Namun kemudian Abdul
Muttalib pun meninggal, dan tanggung jawab pemeliharaan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam beralih pada pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib
mengabulkan permintaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk ikut serta
dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun
sebenarnya masih terlalu muda untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun
dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda-tanda
kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Segumpal awan terus menaungi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sehingga panas terik yang membakar kulit
tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut
berhenti. Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama
Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi
kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar melihat dalam kafilah itu terdapat
seorang anak yang terang benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang
terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya.
“Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu,” pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong
iring-iringan kafilah itu dan mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan.
Setelah berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon
nabi yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Keyakinan ini dipertegas
lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya,
pendeta Buhairah berpesan pada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati
menjaganya. Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh
seluruh umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang
Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa
yang saya terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan
Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan.”
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu
membuat Abi Thalib segera mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke
Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu
orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat
perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui
Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut
membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang
terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera
tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya
orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka semua menunggu, kemudian
tampaklah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam muncul dari sana. Semua hadirin
berseru, “Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua
keputusannya.”
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan
meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku
memegang tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai
pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah
perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara
penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah
binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah
lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah
lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam, Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam yang sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah
mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di
Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman
karibnya, Nufasah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Khadijah yang berusia 40 tahun, melamar Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam untuk menjadi suaminya.
Setelah bermusyawarah dengan
keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera
diadakan upacara pernikahan dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara
lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6
orang anak, terdiri dari 2 anak lelaki bernama Al-Qasim dan Abdullah, dan 4
anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak
lelakinya meninggal selagi masih kecil. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal, saat Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 50 tahun.
Dalam kehidupan rumah-tangganya
dengan Khadijah, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak pernah menyakiti
hati istrinya. Sebaliknya istrinya pun ikhlas menyerahkan segalanya pada
suaminya. Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas. Budak-budak yang telah
dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia bebaskan, salah
satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkatnya.
Wahyu pertama
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua
Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur
dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia
melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat
Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Mâ anâ bi qâri’ (saya tidak dapat
membaca).” Mendengar jawaban Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Jibril lalu
memeluk tubuh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan sangat erat, lalu
melepaskannya dan kembali menyuruh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali dan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian
menyampaikan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala pertama, yang artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang
Menciptakan. Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah
yang Paling Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. 96: 1-5)
Saat itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan
berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun
syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama
ini, berarti Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah dipilih oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala sebagai rasul.
Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb,
dengan rasa ketakutan dan cemas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
pulang ke rumah dan berseru pada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku.”
Sekujur tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang,
barulah ia bercerita kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya,
Khadijah mengajak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam datang pada saudara
sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang banyak mengetahui kitab-kitab suci Kristen
dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam, Waraqah pun berkata, “Aku telah bersumpah dengan nama Tuhan, yang
dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu menjadi nabi
kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadamu. Kaummu
akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan memusuhimu, dan mereka akan
melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada hari itu, aku akan berjuang
membelamu.”
Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Wahyu berikutnya adalah surat
Al-Muddatsir: 1-7,
yang artinya: Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (QS. 74: 1-7)
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir
ini, mulailah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berdakwah. Mula-mula ia
melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan
rekan-rekannya.
Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak ibunya masih hidup.
Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak ibunya masih hidup.
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil
mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti, Usman bin Affan, Zubair
bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah.
Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah perintah agar Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah secara terang-terangan.
Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan
itu ia menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya.
Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar, salah satunya
adalah Abu Lahab.
Langkah dakwah seterusnya diambil
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam pertemuan yang lebih besar. Ia
pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia berteriak memanggil orang
banyak. Karena Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah orang yang
terpercaya, penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting,
sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di
belakang bukit ini ada pasukan musuh yang siap menyerang kalian, percayakah
kalian?”
Dengan serentak mereka menjawab,
“Percaya, kami tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada
duanya. Saudara yang mendapat gelar al-Amin.” Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang
nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan
saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan
selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara
nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya.”
Tapi khotbah ini ternyata membuat
orang-orang yang berkumpul itu marah, bahkan sebagian dari mereka ada yang
mengejeknya gila. Pada saat itu, Abu Lahab berteriak, “Celakalah engkau hai
Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu
Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur’an yang artinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari
sabut. (QS. 111: 1-5)
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya
mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan
pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja,
dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka adalah
orang-orang yang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat
membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para
penguasa Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin
mempertahankan tradisi lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat
dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menekankan pada keadilan sosial dan
persamaan derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga
antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengen cara
meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam agar berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada
mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta agar Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menolak permintaannya dan berkata, “Demi Allah saya tidak akan
berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan
sanak saudara mengucilkan saya.”
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib
pun berkata, “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”. Gagal dengan
cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui Abi Thalib
dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah dia menjadi anak saudara,
tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah
menentang kami dan memecah belah kita”. Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah
oleh Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan
anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya
untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”
Kembali mengalami kegagalan,
berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam secara
langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika, untuk
membujuk Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka menawarkan takhta, wanita,
dan harta yang mereka kira diinginkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam,
asal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia menghentikan dakwahannya. Namun
semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan
mengatakan, “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku,
dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini,
hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya.”
Setelah gagal dengan cara-cara
diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan.
Budak-budak mereka yang telah masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam.
Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak
bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di
atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap suku diminta menghukum anggota
keluarganya yang masuk Islam sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan
misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh
anggota keluarganya sendiri. Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam
mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran,
dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman terhadap kaum Muslimin
mendorong Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk mengungsikan
sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan yang mendalam, pada
tahun ke-5 kerasulannya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menetapkan Abessinia
atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian, karena
raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merasa pasti rombongannya akan diterima dengan
tangan terbuka.
Rombongan pertama terdiri dari 10
orang pria dan 5 orang wanita. di antara rombongan tsb adalah Usman bin Affan
beserta istrinya Ruqayah (putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam), Zubair
bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang
dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah
rombongan ini lebih dari 80 orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy
untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb
agar menolak kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal.
Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah jumlah
yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman tsb, dua orang kuat
Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab.
Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah
posisi umat Islam dan dakwah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pada waktu
itu.
Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy
semakin keras. Mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun
berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan
segala macam hubungan dengan suku ini.
Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.
Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.
Tindakan pemboikotan yang dimulai
pada tahun ke-7 kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan berlangsung
selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu
berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa
tindakan pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong
mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani
Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah
mereka, Abi Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam yang merupakan
pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian,
Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar
merupakan Tahun Kesedihan (‘Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Terlebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari Bani Saqif (penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Terlebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari Bani Saqif (penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Peristiwa Isra Mi’raj
Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengalami peristiwa Isra Mi’raj. Isra,
yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di
Yerusalem. Mi’raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju
Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana
Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam kesempatannnya berhadapan
langsung dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala inilah Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menerima perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu sehari
semalam. Peristiwa Isra Mi’raj ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Isrâ’ ayat
1. Hijrah Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah
haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah).
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Suatu ketika Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal dari
Yatsrib. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan pokok-pokok
ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Mereka berkata, “Bangsa kami sudah lama terlibat dalam
permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan
perdamaian.
Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”
Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”
Pada musim haji tahun berikutnya,
datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12 orang suku Khazraj dan Aus.
Mereka menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di suatu tempat bernama Aqabah.
Di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, mereka menyatakan ikrar kesetiaan.
Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan
12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani
oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
atas permintaan mereka.
Pada musim haji berikutnya, jemaah
haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang, termasuk 12 orang yang
sebelumnya telah menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di Aqabah. Mereka
meminta agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia pindah ke Yatsrib.
Mereka berjanji akan membela Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari segala
ancaman. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyetujui usul yang mereka ajukan.
Mengetahui adanya perjanjian antara
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan orang-orang Yatsrib, kaum
Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke
Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin, sedikit
demi sedikit, ke Yatsrib.
Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, membelanya sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, membelanya sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum Quraisy merencanakan untuk
membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebelum ia sempat menyusul
umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap
suku diwakili oleh seorang pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu
terdengar oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, sehingga ia merencanakan
hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar.
Abu Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Shallall Shallallahu Alaihi Wassalam masih tidur.
Abu Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Shallall Shallallahu Alaihi Wassalam masih tidur.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah
malam buta Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam keluar dari rumahnya tanpa
diketahui oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua
keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota
Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman.
Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang
jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa
hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal
sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam sebagai pusat peribadatan.
Tak lama kemudian, Ali menggabungkan
diri dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Sementara itu penduduk Yatsrib
menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut perhitungan mereka, berdasarkan
perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat
yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam dan rombongan. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu
pun tiba.
Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya: Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit). Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi, Wahai orang yang diutus kepada kami, engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya: Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit). Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi, Wahai orang yang diutus kepada kami, engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Setiap orang ingin agar Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berkata, “Aku akan menginap dimana untaku
berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya.”
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua
anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari.
Dengan demikian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memilih rumah Abu Ayyub
sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong
membangun rumah untuknya.
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah
menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah
al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar
ke seluruh dunia.
Terbentuknya Negara Madinah
Setelah Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar pertama yang ditegakkannya
adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum
Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk
Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin). Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin
dengan individu-individu dari golongan Anshar. Misalnya, Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin
Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal.
Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.
Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk
mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud
adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk
berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul
dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama
kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi.
Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub
al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari
daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan
persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah,
disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi
dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar
stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat
dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam
makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang
Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan
membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah
dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan
keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya
maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir
L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa’ad bin Abi
Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan
Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar,
dan ke Usyairiah. Di sini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan
perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja
digerakkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai aksi-aksi siaga dan melatih
kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan
mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah
dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang Badr yang merupakan perang
antara kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada
tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi
antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini
berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313
orang dengan perlengkapan senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak,
dan panah. Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan
semangat pasukan yang membaja, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Abu
Jahal, panglima perang pihak pasukan Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sejak awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak 70
tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi tawanan.
Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebaga syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. 3: 123).
Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebaga syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak
senang dengan kemenangan kaum muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati
menerima perjanjian yang dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dalam Piagam Madinah.
Sementara itu, dalam menangani persoalan
tawanan perang, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memutuskan untuk
membebaskan para tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan masing-masing. Tawanan
yang pandai membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia mengajari orang-orang
Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak memiliki kekayaan dan
kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.
Tidak lama setelah perang Badr, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan suku Badui
yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam karenan melihat kekuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Tetapi
ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.
Sesudah perang Badr, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam juga menyerang Bani Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot
dengan orang-orang Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu mengusir kaum
Yahudi itu ke Suriah.
Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud
ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas
dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr. Pasukan Quraisy,
dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200
pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara
mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berjumlah 700 orang. Perang pun berkobar.
Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang jauh lebih
besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta
mereka. Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang
ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun
untuk mengambil harta peninggalan musuh.
Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh
berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian
mengakhiri pertempuran itu. Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam
gugur sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H
ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi
Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah.
Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi,
sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, mengusulkan agar kaum muslimin
membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah
perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Tentara sekutu yang tertahan oleh
parit tsb mengepung Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir
sebulan lamanya. Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita
karena hubungan mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu
diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani
Quraizah, dibawah pimpinan Ka’ab bin Asad.
Namun akhirnya pertolongan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan
pengepungan, persediaan makanan pihak sekutu berkurang. Sementara itu pada
malam hari angin dan badai turun dengan amat kencang, menghantam dan
menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Sehingga
mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing
tanpa suatu hasil.
Para pengkhianat Yahudi dari Bani
Quraizah dijatuhi hukuman mati. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat
Al-Ahzâb: 25-26. Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji
sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat
bergelora. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin langsung sekitar 1.400
orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang
dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa
senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka
berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah. Orang-orang
kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah
besar tentara untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian
Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya antara lain:
Kedua belah pihak setuju untuk
melakukan gencatan senjata selama 10 tahun. Bila ada pihak Quraisy yang
menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan.
Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tiap kabilah bebas melakukan
perjanjian baik dengan pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam maupun dengan
pihak Quraisy.
Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah
pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota
Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dulu. Kaum muslimin memasuki kota Mekah
dengan tidak diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan
tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam
. Tujuan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan
menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah
lain. Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Mekah adalah pusat keagamaan bangsa
Arab, sehingga dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan
Islam dapat tersebar ke luar.
Apabila suku Quraisy dapat
diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang
Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai
perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah
haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai
oleh masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke negeri-negeri
lain
Gencatan senjata dengan penduduk
Mekah memberi kesempatan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam untuk
mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan
bagaimana cara mengislamkan mereka.
Salah satu cara yang ditempuh oleh
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian adalah dengan mengirim utusan dan
surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan. di antara raja-raja yang
dikirimi surat oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah raja Gassan dari
Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang dengan cara itu tidak
ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah Islam sudah sampai
kepada mereka.
Reaksi para raja itu pun ada yang
menolak dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang
menolak dengan kasar.
Raja Gassan termasuk yang menolak
dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dibunuhnya
dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian mengirim
pasukan perang sebanyak 3.000 orang dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah.
Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara Semenanjung Arab.
Pasukan Islam mendapat kesulitan
menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan langsung dari Romawi. Beberapa
syuhada gugur dalam pertempuran melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang
itu. di antara mereka yang gugur adalah Zaid bin Haritsah sendiri, Ja’far bin
Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat kekuatan yang tidak seimbang
itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil
alih komando dan memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke
Madinah. Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini disebut dengan
Perang Mu’tah.
Kembali ke Mekah
Selama 2 tahun Perjanjian
Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau Semenanjung Arab dan mendapat
tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku
yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam.
Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza’ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta keadilan.
Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza’ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta keadilan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam segera bertolak dengan 10.000 orang tentara untuk melawan kaum musyrik
Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil dari kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam tidak mengalami kesukaran memasuki kota Mekah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam memasuki kota itu sebagai pemenang. Pasukan Islam
memasuki kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka kemudian menghancurkan
patung-patung berhala di seluruh negeri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “
…Kebenaran sudah datang dan yang
bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap.”(QS. 17: 81)
Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang
Quraisy. Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam.
Ka’bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan
musyrik. Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam.
Setelah Mekah dapat dikalahkan,
masih terdapat suku-suku Arab yang menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin,
Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Suku-suku ini berkomplot membentuk satu pasukan
untuk memerangi Islam karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala mereka
yang diruntuhkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam di Ka’bah.
Pasukan mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari Bani Nasr).
Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka
berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis. Kurang lebih 2 minggu
kemudian, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin sekitar 12.000 tentara
menuju Hunain. Saat melihat banyak pasukan Islam yang gugur, sebagian pasukan
yang masih hidup menjadi goyah dan kacau balau, sehingga Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam kemudian memberi semangat dan memimpin langsung peperangan tsb.
Akhirnya umat Islam berhasil menang. Pasukan musuh yang melarikan diri ke Ta’if
terus diburu selama beberap minggu sampai akhirnya mereka menyerah. Pemimpin
mereka, Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan
Bani Hawazin, kini seluruh Semenanjung Arab berada di bawah satu kepemimpinan,
yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Melihat kenyataan
itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun pasukan besar di Suriah, kawasan
utara Semenanjung Arab yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan
besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani Lachmides.
Dalam masa panen dan pada musim yang
sangat panas, banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang
bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Pasukan Romawi kemudian menarik diri
setelah melihat betapa besarnya pasukan yang dipimpin Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri tidak melakukan pengejaran,
melainkan ia berkemah di Tabuk. Disini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat
beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian daerah perbatasan
itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam.
Perang yang terjadi di Tabuk ini merupakan
perang terakhir yang diikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh
pelosok Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam untuk menyatakan tunduk kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat besar
pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan
atau ‘Âm al-Bi’sah. Mereka yang datang ke Mekah, rombongan demi rombongan,
mempelajari ajaran-ajaran Islam dan setelah itu kembali ke negeri masing-masing
untuk mengajarkan kepada kaumnya. Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk.
Peperangan antar suku yang berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan
agama. Pada saat itu turunlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Apabila telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. 110: 1-3)
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tercapai. Di tengah-tengah suatu
bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi. Ia telah
berhasil membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan
mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal
sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam mendapati mereka bergelimang dalam ketakhyulan yang
merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan
kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang. Saat mereka
bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya,
dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam
kegelapan rohani, maka ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk
menyinari rohani mereka. Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan
dengan baik semasa hidupnya. Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Ibadah haji terakhir
Pada tahun 10 H, Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan
haji wada’. Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut
menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan khotbahnya yang sangat
bersejarah. Isi khotbah itu antara lain: larangan menumpahkan darah kecuali
dengan haq (benar) dan mengambil harta orang lain dengan bathil (salah), karena
nyawa dan harta benda adalah suci.
larangan riba dan larangan
menganiaya perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah
lembut perintah menjauhi dosa semua pertengkaran di antara mereka di zaman
Jahiliah harus dimaafkan pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang
berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan persaudaraan dan persamaan di
antara manusia harus ditegakkan hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik,
yaitu mereka memakan apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai
majikannya dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh
pada dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam bertanya kepada seluruh jemaah, “Sudahkan aku menyampaikan amanat
Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?” Jemaah yang ada di hadapannya segera
menjawab, “Ya, memang demikian adanya.” Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah
menjadi saksiku.” Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah upacara haji yang lain
disempurnakan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali ke Madinah.
Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di
kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan
Islam. Petugas keamanan dan para da’i dikirimnya ke berbagai daerah untuk
menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat.
Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu’az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu’az yang terkenal
muncul, yaitu perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam agar Mu’az menggunakan
pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila ia tidak
menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada saat-saat itu pula wahyu Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang terakhir turun: “… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agamamu …” (QS. 5: 3)
Mendengar ayat ini, banyak orang yang
bergembira karena telah sempurna agama mereka, tetapi ada pula yang menangis,
seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu jelas merupakan pertanda
berakhirnya tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’
di Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sakit demam. Meskipun badannya
mulai lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak
memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat
berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat.
Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni
632, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menghembuskan nafasnya yang
terakhir di rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir,
“Ingatlah shalat, dan taubatlah…”.
Ummul Mukminin
Setelah Khadijah meninggal, Nabi
Muhammad menikah lagi sebanyak 10 kali, sehingga jumlah wanita yang menjadi
istrinya ada 11 orang. Kesebelas wanita ini disebut sebagai Ummul Mukminin (ibu
dari orang-orang yang beriman). Sebutan tsb menunjukkan bahwa para istri Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam adalah wanita-wanita yang terpilih dan dimuliakan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menikahi para
wanita itu karena beberapa alasan, antara lain untuk melindungi mereka dari
tekanan kaum musyrikin, membebaskannya dari status tawanan perang, dan mengangkat
derajatnya. Tidak jarang pernihakan yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menciptakan hubungan perdamaian antara dua suku yang sebelumnya saling
bermusuhan.
Para Ummul Mukminin itu adalah: Khadijah binti
Khuwailid Sa’udah binti Zam’ah Aisyah binti Abu Bakar as-Sidiq Zainab binti
Huzaimah bin Abdullah bin Umar Juwairiyah binti Haris Sofiyah binti Hay bin
Akhtab Hindun binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum
Ramlah binti Abu Sufyan Hafsah binti Umar bin Khattab Zainab binti Jahsy bin
Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah bin Murrah Maimunah binti Haris Beberapa dari istri
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ini juga menjadi periwayat hadist, yaitu
Aisyah, Hafsah, dan Zainab binti
0 comments:
Post a Comment