BLOG TENTANG : PENGERTIAN, MANFAAT, PENDIDIKAN, KESEHATAN, SERTA CARA, PETUNJUK DAN DO'A-DO'A

Aliran-Aliran Dalam Ilmu Qalam

ALIRAN-ALIRAN QALAM

Aliran Khawarij
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Semula Khawarij adalah golongan politik yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dan keluar dari golongan Ali. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriah, karena setelah memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru di suatu kampung yang bernama Harura. Meskipun Khawarij pada mulanya adalah golongan politik, namun dalam perkembangan selajutnya ia beralih menjadi aliran kalam.

Aliran Khawarij membolehkan seorang khalifah (kepala Negara) atau Imam dipilih dari bukan golongan kaum Quraisy, boleh dari orag biasa ataupun hamba sahaya. Bagi aliran ini seorang khalifah berfungsi mewakili semua kepentingan rakyat dengan sifat-sifat yang adil, jujur dan menjauhi segala hal yang akan merusakannya. Khalifah juga wajib mempunyai ilmu yang luas da bersifat zuhud. Seorang khalifah yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, merusak keadilan, dan kemaslahatan, wajib dihukum atau dibunuh. Ali ditolak sejak Ali melaksanakan tahkim.

Golongan An-Najdat adalah pengikut Najdah Ibnu Amir al- Hanafi dari Yamamah. Bagi golongan ini, keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh kewajiban mengimani Allah dan Rasul-Rasul-Nya, mengetahui haram hukumnya membunuh orang islam dan percaya pada seluruh yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. orang yang tidak peduli terhadap hal-hal tersebut tidak beriman dan tidak dapat diampuni.
Golongan al-Muhakkimah, misalnya menetapkan bahwa Ali, Mu’awiyah dan semua pengikut yang membenarkan tahkim, semuaya kafir.
Golongan al-Azariqah adalah kelompok khawarij di bawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq dengan pandangan yang lebih ekstrim di banding golongan-golongan lainnya. Golongan ini berpendirian bahwa orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik, kekal selama-lamanya didalam neraka, walaupun ia dalam usia anak-anak. Yang tergolong beriman adalah mereka sendiri dan para pengikutnya, selain golongan mereka semuanya musyrik dan harus dibunuh.

Pengikut dari Ziad ibnu Asfar disebut As-Sufriah. Golongan ini juga termasuk golongan ekstrim akan tetapi ada di antara pendirian mereka yang lunak, seperti: anak-anak orang musyrik dilarang di bunuh, orang-orang sufiah yang tidak ikut hijrah tidak dipandang kafir, kafir bagi mereka ada dua, kufur ni’mat dan kufur rububiyah. Dari sini kafir tidak selamanya harus keluar dari islam.

Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah mendasarkan kepada pemikiran yang bersifat netral, yang pada dasarnya tidak mau terlibat di dalam pertentangan dan permusuhan itu. Murji’ah berasal dari kata Arja’a berarti sesuatu yang berada dibelakang. Arja’a juga berarti pengharapan atau Irja’a yang berarti menunda. Al-Baghdadi membagi golongan Murji’ah kedalam tiga golong besar, yang pertama, golongan Murji’ah yang dipengaruhi faham Qadariah, kedua, golongan Murji’ah yang dipengaruhi faham Jabariyah, ketiga, golongan Murji’ah yang dipengaruhi oleh faham Qadariyah dan Jabariyah.
Tokoh-tokoh Murji’ah, diantaranya, Hasan bin Muhammad, Sa’id bin Zubair, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan lain-lain.

Orang-orang Murji’ah selalu berusaha dalam pemikiran netral. Mereka tidak mau memberikan pendapat, siapa yang bersalah dan siapa yang keluar dari Islam sampai kafir, dan semuanya itu mereka tangguhkan penyelesaiannya pada hari perhitungan yang akan datang dihadapan Tuhan.
Bagi golongan Murji’ah, yang diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan adalah soal kedua. Perbuatan setelah iman atau dengan kata lain orang yang melakukan dosa besar masih ada harapan untuk mendapat ramhat, ampunan, dan masuk kedalam surga. Golongan Yunusiah pengikut Yunus bin Ain Numairi berpendapat bahwa iman itu adalah ma’rifah kepada Allah, tunduk dan cinta secara yakin. Seseorang yang berbuat jahat dan maksiat tidaklah merusak iman.

Golongan Tsaubaniyah pengikut Abi Tsauban al-Murji berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah dan ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Bagi golongan Ghassaniah, iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihka. Iman tidak berkurang atau berlebih.

Bagaimanapun juga uraian diatas mengenai pendapat mereka tentang iman, rasanya sulit untuk diterima kaum muslimin. Dengan hanya menekan keutamaannya iman sedang amal perbuatan tidak dianggap penting dan tidak menentukan tetap dalam Islam atau kufurnya seseorang, membawa konsekuensi-konsekuensi yang lebih jauh, berbahaya, dan tidak menggambarkan ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Tetapi banyak juga diantara mereka berpendirian lunak dan dengan pandangan yang obyektif. Mereka menyatakan bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin, mereka bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di siksa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukan.

Faham Jabariyah dan Qadariyah
Jabariyah berasal dari kata jabaran yang berarti memaksa. Imam Syahrastani menggambarkan arti jabariyah adalah penolakan atas perbuatan yang hakekatnya berasar dari manusia dan menimpakannya kepada Tuhan.
Faham Jabariyah ini dalam perkembangan pemikiran Teologi Islam mirip faham fatalism atau filsafat yang beranggapan secara deternis bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan karena segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima takdir yang dipaksakan kepadanya.
Adapun faham Qadariyah lahir pertama kali di dalam sejarah pemikiran islam dari Ma’bad al-juhani. Yang pertama kalinya dilontarkan oleh Ma’bad al-juhani disebarluaskan oleh Ghailan ad-Dimasyqy, menurutnya manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Bila berbuat baik atau berbuat yang buruk semua itu atas kemauannya bebas dari manusia itu sendiri. Faham Qadariyah menolak adanya qadha dan qadar.
Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang mendukung Ali dan menganggap suatu pemerintahan yang tidak dipimpin oleh Ali dan keturunannya, maka pemerintahan itu tidak sah dan menyeleweng. Syi’ah berdiri sebagai suatu aliran teologi dan kini mempunyai pengikut yang tersebar di dunia. Bagi Ahlus Sunnah, pokok-pokok dasar aqidah islam itu adalah at-Tauhid, an-Nubuwwah, al-ma’ad, dan kemudian amal yang dibina di atas tiang agama, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Bagi syi’ah disamping hal-hal tersebut  ditambah lagi dengan satu pokok dasar yaitu I’tikad dengan imamah. Aliran Syi’ah terpecah belah menjadi beberapa golongan, yang terbesar diantaranya adalah Ghulatus syi’ah, Syi’ah imamiah, Rafidhah dan Zaidiah.
Menurut Al-Baghdadi, golongan sabaiyah mempercayai bahwa Ali itu adalah Tuhan dan menyerupai dengan zat Tuhan. Al-Milithy menyatakan kafir golongan ini, dianggap sebagai orang-orang tidak berada diatas hujjah yang benar. Golongan Bayaniyah menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang terbentuk tubuh sebagaimana manusia, sedangkan Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan dan sebagian dari Tuhan menjadi badan Ali. Demikianlah sebagian dari faham Ghulatus syi’ah dan Rafidhah umumnya berpendirian tajsim dan tasybih juga percaya dengan hulul dan tanasukh.
Berbeda dengan pendapat aliran Ghulat, Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan aliran Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa dengan segala sesuatu atas-Nya, tidak disifatkan dengan sifat yang juga disifatkan kepada makhluk, bukan jisim, bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak ada ukuran berat, tidak gerak atau diam, tidak bertempat, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Syi’ah Imamiah cenderung mengkafirkan orang yang berpendirian tasybih.

Menurut golongan Ismailiah, Tuhan itu tidak dikatakan bagi-Nya maujud tidak maujud, tidak alim, tidak jahil, tidak qadir dan tidak ajiz.  Imam syahrastani, menyataka bahwa golongan Ismailiah merupakan segolongan orang yang menolak sifat-sifat hakiki bagi Tuhan, melepaskan semua sifat atas zat Tuhan. Tetapi setelah masuknya filsafat yunani di masa khalifah Ma’mun secara intensif mereka mengawinkan filsafat dengan ajaran-ajaran agama, maka dari sinilah mulai terjadi penyimpangan-penyimpangan, khususnya  di kalangan Ikhwanus shafa yang berasal dari golongan ini.
Imam Syahrastani menuturkan, syi’ah adalah segolongan kaum muslimin yang mendukung Sayyidina Ali r.a. dan berpendirian bahwa beliaulah yang memimpin Negara atas ketetapan Rasulullah, dan imamah tidak boleh keluar dari keturunannya.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah tidak bisa dipisahkan dengan washil bin ‘Atha, nama lengkapnya Abu Huzail Washil bin ‘Atha, lahir di madinah 80 H (689M) dan meniggal pada tahun 131 H (749) di Basrah. Dasar umum pikiran dalam aliran Mu’tazilah, tersimpul dalam lima ajaran pokok, yang disebut dengan Ushul al-Khamsah, yaitu:
  1. Tauhid. Tuhan Maha Esa, tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk-Nya, tidak sama dengan sesuatu,tidak dapat dilihat dengan mata, maha qadim yang tidak ada kesamaannya.
  2. Keadilan Tuhan. Tuhan tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan orang dan tidak memaksanya. Dasar prinsip keadilan ini terletak dalamkemampuan akal untuk berbuat baik, dan keadilan tuhan terletak di dalam kebaika itu.
  3. Al wa’ad wal wa’id. Janji dan ancaman Tuhan pasti akan terlaksana, yaitu janji berupa limpahan pahala dan ancaman berupa siksaan.
  4. Manzilah baina manzilatain. Seorag mukmin yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan sebagai mukmin juga tidak dihukumkan sebagai kafir, tapi ia berada di tempat diantara dua tempat. Apabila ia meninggal tetapi belum bertaubat maka ia jatuh kedalam neraka.
  5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Prinsip ini merupakan kewajiban untuk dilaksanakan sesuai dengan dasar-dasar berfikir aliran ini yaitu kekuasaan akal.
Aliran Mu’tazilah yang dikenal sebagai aliran yang menggali sifat Tuhan itu lahir sebagai reaksi atas aliran Tasybih dan Tajsim. Washil berpendapat, manusialah sepenuhnya pencipta buruk dan baik atas perbuatannya, iman dan kafir, taat dan maksiat, semua mendapat balasan.
Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Golongan terbanyak dari Salafus Shaleh adalah mereka yang menetapkan sifat-sifat azali atas Allah swt, seperti ilmu, qodrat, hayat, iradah, sama’, bashar, kalam, dan sebagainya. Mereka tidak membedakan anatara sifat-sifat zat dan sifat-sifat fi’il atau perbuatan.
Apabila Mu’tazilah menolak sifat-sifat atas Tuhan, mereka ini dinamakan sebagai orang-orang yang menggali sifat-sifat atas Tuhan. Adapun Salafus Shaleh membiarkannya sebagaimana adanya, sebab manusia tidak mengetahui arti yang sesungguhnya, dan tidaklah manusia diberati untuk mengetahui ta’wil daripada ayat-ayat tersebut. Tapi yang ditekanka bagi mereka adalah I’tiqad yang benar bahwa Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang demikian mereka yakini dengan seyakin-yakinnya.

Dari para ulama salaf itu, salah seorang diantaranya yang tidak terang-terangan menolak ta’wil dan tidak pula condong kepada tasybih adalah Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal, Sufyan Tsauri, Daud bin Ali al-Asfahani. Kemudian menyusul Abdullah bin Said al-Kullabi, Abdul Abbas al-Kalanisi, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi yang tergolong kaum salaf yang punya andil memecahkan masalah-masalah ilmu kalam, sehingga mereka kemudian memperkuat aqaid-aqaid salaf dengan metode kalam, sampai berkembang secara khusus dalam pemikiran Imam Abul Hasan al-asy’ari.

Konsep Imam Asy’ari merupakan dasar pikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai konsepsi jalan tengah di antara dua kutub pendapat yang ekstrim. Disatu pihak aliran Mu’tazilah dengan penolakan dan penanggalan atas sifat-sifat Tuhan, dan di pihak lain ada aliran Tasybih dan Tajsim yang secara harfiah dan dengan pikiran yang amat sempit menyamakan bahwa Tuhan adalah sama dengan mahluk biasa. Di dalam hal ini al-Makhrizi menyatakan:”Hakekat aliran Asy’ari (Rahimmullah) adalah jalan tengah yang menolak sifat-sifat yaitu Mu’tazilah dan yang berlebih-lebihan menetapkan sifat yaitu Tajsim.

Imam Asy’ari membahas masalah zat dan sifat di atas dasar pembahasan yang asasnya adalah Naqal dan akal, dengan secara hati-hati menyisihkan adanya Tasybih (keserupaan antara Tuhan dengan makhluk). Dalam kitabnya Al-Luma “Tatkala engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh makhluk, katakanlah bahwa jika sekiranya menyerupainya tentulah hukumnya sama dengan hukum yang baru. Jika diserupakan maka tentu tidak lepas dari seluruhnya atau sebagiannya, dan jika diserupakan, keseluruhannya maka keadaannya sama dengan yang hadits keseluruhannya, dan jika sebagian maka keadaannya serupa untik sebagian dengan yang hadits. Yang demikian adalah semuanya mustahil bagi yang qadim.”

Imam Asy’ari menetapkan 7 sifat yang azali lazim bagi zat Tuhan, beliau berkata:”Allah Ta’ala Maha Tau dengan ilmu-Nya, dan Maha Berkehendak dengan Iradah-Nya, Maha Berkuasa dengan Qodrat-Nya, Maha Berkata-kata dengan Kalam-Nya, Maha Melihat dengan Bashar-Nya, Maha Hidup dengan Hayat-Nya.”
Pendapat Imam Asy’ari mendapat tentangan dari filsuf Andalusia yaitu Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa konsep Asy’ari membawa kepada Tajsim, akan tetapi pendapat-pendapat Asy’ari tidaklah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd. Taftazani menunjuk kepada kitabnya” menerangkan kepada Syeikh kami bahwa Allah Ta’alaa adalah hidup dan bagi-Nya hayat yang azali, bukanlah yang demikian itu ‘aradh dan tidaklah mustahil bersifat baqa…”
Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, Ahlus Sunah Wal Jama’ah berpendapat bahwa manusia dan perbuatannya adalah makhluk Allah, baik dan buruknya adalah Tuhan yang menjadikannya. Ahlus Sunah menolak pendapat yag menyatakan bahwa makhluk menciptakan perbuatannya sendiri,sebab pendapat yang demikian membawa kepada adanya dua pencipta dan barang siapa yang berpendapat demikian akan berakibat kepada syirik dalam penciptaan dan sudah tentu membawa kepada kekufuran.
Ahlus Sunah Wal Jama’ah menetapkan, manusia mempunyai kesanggupan yang dijadikan Allah atas hamba-Nya berbarengan dengan perbuatan hamba, tidak mendahului dan tidak kemudian dari perbuatan itu. Hal ini berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan atas perbuatan dengan kesanggupan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Ahlus Sunah Wal Jama’ah menolak pendapat Jabariyah yang menyatakan "bahwa Allah-lah yang memaksa manusia berbuat maksiat sesuai dengan takdirnya, kemudian orang itu diazab". Penolakan ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan Al-Qur’an, dan juga tertolak oleh pikiran, jika sekiranya Tuhan berbuat demikian, maka bearti Tuhan adalah dzalim. Jelaslah bahwa Ahli Sunah percaya terhadap Allah swt. Sebagai pencipta perbuatan manusia, berbeda dengan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa manusialah pencipta perbuatannya, dan berbeda pula dengan Jabariah yang menyatakan bahwa" manusia pada asasnya tidak memiliki kekuasaan apa-apa", sedang Ahlus Sunah berpendapat "manusia mempunyai amal ikhtiar." Dan demikian Tuhan sebagai pencipta dan mengadakan, namun manusia berusaha dan berikhtiar.

Maka segala amal perbuatan manusia yang dikerjakannya itu pada hakekatnya kembali kepada Allah swt karena Allah-lah yang menciptakannya dan memberi pertolongan kepadanya. Dalam hal ini meskipun segala perbuatan dan hasil perbuatan itu pada hakikatnya dari Allah, namun tidak pada tempatnya menyandarkan hal-hal yang buruk kepada Allah swt.

Secara ijma’ Ahlus Sunah menetapkan perlunya Imamah atau khalifah untuk seluruh kaum muslimin, dan caranya melalui pemilihan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Di dalam Imamah atau khalifah diperlukan benerapa syarat, menurut Ibnu Khaldun bahwa syarat-syarat Imamah itu antaralain, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, adil, kompeten, dan sempurna keadaan indar tubuhnya.
Jumhur Ulama Ahlu Sunah, menetapkaan syarat-syarat Imamah itu antara lain dengan empat syarat:
  1. Quraisy, pada dasarnya siapa saja dapat diangkat menjadi khalifah, tetapi lebih afdhal dan jika mungkin adalah yang dari Quraisy.
  2. Bai’at, seorang khalifah dalam memangku tugasnya dimulai setelah dilakukan bai’at. Bai’at menurut Ibnu Khaldun adalah janji untuk taat.
  3. Demokrasi, ajaran islam mengenai Negara dan rakyat di dasarkan kepada demokras. Karena itu pula maka dalam menentukan kepada Negara atau imam, haruslah dilalui syarat-syarat demokrasi itu. Dalam menetapkan segala kebijakan harus dengan bermusyawarah karena dengan bermusyawarah itu membawa segala kebijaksanaan menjadi terlaksana dan dengan kesepakatan permusyawaratan itu membawa persatuan bangsa.
  4. Keadilan, syarat mutlak bagi suatu pemerintahan khalifah yaitu keadilan.
Seperti firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 135:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Aliran Salaf
Aliran Salaf adalah orang-orang Hanabilah (pengikut Ahmad bin Hanbal) yang berusa menghidupkan dan mempertahankan teologi ulama-ulama Salaf yang berpucak pada ajaran Ahmad bin Hanbal, muncul pada abad IV Hijri. Keterikatan Ahmad bin Hanbal dengan teks-teks Al-Qur’an dan sunah Rasulullah telah membuat pandangan begitu sederhana dengan suatu pendirian yang teguh.
Kesederhanaan dan pendiriannya yang teguh itu Nampak ketika ia menghadapi Minhat  yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Gubernur Baghdad terhadap Ahmad bin Hanbal. Kejadian minhat merupakan peristiwa besar yang diketahui dan dirasakan oleh seluruh kaum muslimin serta meninggalkan pesan abadi agar mempertahankan nash-nash agama di atas segala pertimbagan rasional.
Ciri khas mereka adalah kembali kepada penafsiran harfiah atas nash-nash dan memunculkan tradisi kalam dan hukum sebagaimana ketika perkembangan pertama dalam islam, terutama pemikiran Ahmad bin Hanbal, serta menolak dominasi akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Bagi Ahmad bin Hanbal Iman adalah perkataan dan perbuatan, iman akan bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang jika melakukan kemaksiatan. Ia juga menyatakan , Tuhan bersifat zat-Nya yang tinggi dengan sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam,dan lain sebagainya. Ia menetapkan seperti yang terdapat di Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Ahmad bin Hanbal menetapkan kewajiban mengimani qadar baik dan buruk serta wajib menaati perintah Allah. Tokoh terkenal yang membangkitkan Faham Hanbali tersebut adalah Ibnu Hazm, lahir pada hari terakhir Ramadhan 384 H bertepatan dengan 7 November 994 M di Cordova dan wafat pada tahun 456 H atau 1604 M di Andalusia.
Menurut Ibnu Hazm Al-Qur’an banyak menyebut dengan kata Asma’ bukan dengan kata sifat. Dan lafadz sifat itu ditimbulkan oleh Mu’tazilah. Ibnu Hazm tidak membenarkan menyembah, meminta, serta berdo’a kepada selain Allah, karena hanya Allah lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan-Nya. tidak ada orang yang dianggap suci kecuali para Nabi dan Rasul karenanya bersifat ma’shum. Dengan demikian ditolak wasilah dalam memohon kepada Allah, karena perbuatan yang sedemikian itu adalah syirik.
Iman itu meliputi pengakuan dalam hati, dinyatakan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota. Iman menurut Ibnu Hazm adalah, mengenal, meyakinka, membenarkan, semua rukun Iman disertai mentaati semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya
.
Ibnu Taimiyah tokoh pemikiran islam Salafus Shaleh di bagian Timur, dilahirkan di Harran pada tahun 661 H/1263 M, dan meninggal di Damaskus 728 H/1328 M. Bagi Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an sebagai dasar Syari’ah dapat diterima oleh akal yang benar dan bathin yang bersih. Apalagi Al-Qur’an telah diperjelas oleh Hadits dan dimanifestasikan dalam tingkah laku para Salafus Shaleh. Dengan kata lain menurut dia Islam yang benar adalah bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi di ikuti sahabat Salafus Shaleh. Mengapa Salafus Shaleh? karena nash sendiri menetapkan bahwa generasi Salafus Shaleh adalah generasi terbaik setelah generasi Rasulullah.
Dari mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Salafus Shaleh yaitu mereka para sahabat yang berpegang teguh kepada Syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Atsar, dan Ijma’, percaya kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, para Rasul dan Nabi, kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, para Malaikat, pada hari akhir, surga dan neraka, dan percaya kepada Qadha dan Qadar baik dan buruknya.
Aliran-Aliran Dalam Ilmu Qalam Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

0 comments:

Post a Comment