ALIRAN-ALIRAN QALAM
Aliran
Khawarij
Nama
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Semula Khawarij
adalah golongan politik yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dan keluar dari
golongan Ali. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriah, karena setelah
memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru di suatu kampung yang bernama
Harura. Meskipun Khawarij pada mulanya adalah golongan politik, namun dalam
perkembangan selajutnya ia beralih menjadi aliran kalam.
Aliran
Khawarij membolehkan seorang khalifah (kepala Negara) atau Imam dipilih dari
bukan golongan kaum Quraisy, boleh dari orag biasa ataupun hamba sahaya. Bagi
aliran ini seorang khalifah berfungsi mewakili semua kepentingan rakyat dengan
sifat-sifat yang adil, jujur dan menjauhi segala hal yang akan merusakannya.
Khalifah juga wajib mempunyai ilmu yang luas da bersifat zuhud. Seorang
khalifah yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, merusak keadilan, dan
kemaslahatan, wajib dihukum atau dibunuh. Ali ditolak sejak Ali melaksanakan tahkim.
Golongan
An-Najdat adalah pengikut Najdah Ibnu Amir al- Hanafi dari Yamamah. Bagi
golongan ini, keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh kewajiban
mengimani Allah dan Rasul-Rasul-Nya, mengetahui haram hukumnya membunuh orang
islam dan percaya pada seluruh yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. orang
yang tidak peduli terhadap hal-hal tersebut tidak beriman dan tidak dapat
diampuni.
Golongan
al-Muhakkimah, misalnya menetapkan bahwa Ali, Mu’awiyah dan semua pengikut yang
membenarkan tahkim, semuaya kafir.
Golongan
al-Azariqah adalah kelompok khawarij di bawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq dengan
pandangan yang lebih ekstrim di banding golongan-golongan lainnya. Golongan ini
berpendirian bahwa orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah
musyrik, kekal selama-lamanya didalam neraka, walaupun ia dalam usia anak-anak.
Yang tergolong beriman adalah mereka sendiri dan para pengikutnya, selain
golongan mereka semuanya musyrik dan harus dibunuh.
Pengikut
dari Ziad ibnu Asfar disebut As-Sufriah. Golongan ini juga termasuk golongan
ekstrim akan tetapi ada di antara pendirian mereka yang lunak, seperti:
anak-anak orang musyrik dilarang di bunuh, orang-orang sufiah yang tidak ikut
hijrah tidak dipandang kafir, kafir bagi mereka ada dua, kufur ni’mat dan kufur
rububiyah. Dari sini kafir tidak selamanya harus keluar dari islam.
Aliran
Murji’ah
Aliran
Murji’ah mendasarkan kepada pemikiran yang bersifat netral, yang pada dasarnya
tidak mau terlibat di dalam pertentangan dan permusuhan itu. Murji’ah berasal
dari kata Arja’a berarti sesuatu yang berada dibelakang. Arja’a juga
berarti pengharapan atau Irja’a yang berarti menunda. Al-Baghdadi membagi
golongan Murji’ah kedalam tiga golong besar, yang pertama, golongan Murji’ah
yang dipengaruhi faham Qadariah, kedua, golongan Murji’ah yang dipengaruhi
faham Jabariyah, ketiga, golongan Murji’ah yang dipengaruhi oleh faham
Qadariyah dan Jabariyah.
Tokoh-tokoh
Murji’ah, diantaranya, Hasan bin Muhammad, Sa’id bin Zubair, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan lain-lain.
Orang-orang
Murji’ah selalu berusaha dalam pemikiran netral. Mereka tidak mau memberikan
pendapat, siapa yang bersalah dan siapa yang keluar dari Islam sampai kafir,
dan semuanya itu mereka tangguhkan penyelesaiannya pada hari perhitungan yang
akan datang dihadapan Tuhan.
Bagi
golongan Murji’ah, yang diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan adalah
soal kedua. Perbuatan setelah iman atau dengan kata lain orang yang melakukan
dosa besar masih ada harapan untuk mendapat ramhat, ampunan, dan masuk kedalam
surga. Golongan Yunusiah pengikut Yunus bin Ain Numairi berpendapat bahwa iman
itu adalah ma’rifah kepada Allah, tunduk dan cinta secara yakin. Seseorang yang
berbuat jahat dan maksiat tidaklah merusak iman.
Golongan
Tsaubaniyah pengikut Abi Tsauban al-Murji berpendapat bahwa iman adalah
ma’rifah dan ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Bagi golongan Ghassaniah, iman itu
adalah ikrar atau mencintai dan membersihka. Iman tidak berkurang atau
berlebih.
Bagaimanapun
juga uraian diatas mengenai pendapat mereka tentang iman, rasanya sulit untuk
diterima kaum muslimin. Dengan hanya menekan keutamaannya iman sedang amal
perbuatan tidak dianggap penting dan tidak menentukan tetap dalam Islam atau
kufurnya seseorang, membawa konsekuensi-konsekuensi yang lebih jauh, berbahaya,
dan tidak menggambarkan ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Tetapi
banyak juga diantara mereka berpendirian lunak dan dengan pandangan yang
obyektif. Mereka menyatakan bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap
mukmin, mereka bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di
siksa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukan.
Faham
Jabariyah dan Qadariyah
Jabariyah
berasal dari kata jabaran yang
berarti memaksa. Imam Syahrastani menggambarkan arti jabariyah adalah
penolakan atas perbuatan yang hakekatnya berasar dari manusia dan menimpakannya
kepada Tuhan.
Faham
Jabariyah ini dalam perkembangan pemikiran Teologi Islam mirip faham fatalism
atau filsafat yang beranggapan secara deternis bahwa manusia tidak mempunyai
kekuasaan dan kebebasan karena segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan,
sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima takdir yang
dipaksakan kepadanya.
Adapun
faham Qadariyah lahir pertama kali di dalam sejarah pemikiran islam dari Ma’bad
al-juhani. Yang pertama kalinya dilontarkan oleh Ma’bad al-juhani
disebarluaskan oleh Ghailan ad-Dimasyqy, menurutnya manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Bila berbuat baik atau berbuat yang buruk semua itu
atas kemauannya bebas dari manusia itu sendiri. Faham Qadariyah menolak adanya
qadha dan qadar.
Aliran
Syi’ah
Syi’ah
adalah golongan yang mendukung Ali dan menganggap suatu pemerintahan yang tidak
dipimpin oleh Ali dan keturunannya, maka pemerintahan itu tidak sah dan menyeleweng.
Syi’ah berdiri sebagai suatu aliran teologi dan kini mempunyai pengikut yang
tersebar di dunia. Bagi Ahlus Sunnah, pokok-pokok dasar aqidah islam itu adalah
at-Tauhid, an-Nubuwwah, al-ma’ad, dan kemudian amal yang dibina di atas tiang
agama, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Bagi syi’ah disamping
hal-hal tersebut ditambah lagi dengan satu pokok dasar yaitu I’tikad
dengan imamah. Aliran Syi’ah terpecah belah menjadi beberapa golongan, yang
terbesar diantaranya adalah Ghulatus syi’ah, Syi’ah imamiah, Rafidhah dan
Zaidiah.
Menurut
Al-Baghdadi, golongan sabaiyah mempercayai bahwa Ali itu adalah Tuhan dan
menyerupai dengan zat Tuhan. Al-Milithy menyatakan kafir golongan ini, dianggap
sebagai orang-orang tidak berada diatas hujjah yang benar. Golongan Bayaniyah
menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang terbentuk tubuh sebagaimana
manusia, sedangkan Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan dan sebagian dari Tuhan
menjadi badan Ali. Demikianlah sebagian dari faham Ghulatus syi’ah dan Rafidhah
umumnya berpendirian tajsim dan tasybih juga percaya dengan hulul dan tanasukh.
Berbeda
dengan pendapat aliran Ghulat, Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan aliran
Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Golongan ini
berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa dengan segala sesuatu atas-Nya,
tidak disifatkan dengan sifat yang juga disifatkan kepada makhluk, bukan jisim,
bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak ada ukuran berat, tidak gerak
atau diam, tidak bertempat, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Syi’ah
Imamiah cenderung mengkafirkan orang yang berpendirian tasybih.
Menurut
golongan Ismailiah, Tuhan itu tidak dikatakan bagi-Nya maujud tidak maujud,
tidak alim, tidak jahil, tidak qadir dan tidak ajiz. Imam syahrastani, menyataka
bahwa golongan Ismailiah merupakan segolongan orang yang menolak sifat-sifat
hakiki bagi Tuhan, melepaskan semua sifat atas zat Tuhan. Tetapi setelah
masuknya filsafat yunani di masa khalifah Ma’mun secara intensif mereka
mengawinkan filsafat dengan ajaran-ajaran agama, maka dari sinilah mulai
terjadi penyimpangan-penyimpangan, khususnya di kalangan Ikhwanus shafa
yang berasal dari golongan ini.
Imam
Syahrastani menuturkan, syi’ah adalah segolongan kaum muslimin yang mendukung
Sayyidina Ali r.a. dan berpendirian bahwa beliaulah yang memimpin Negara atas
ketetapan Rasulullah, dan imamah tidak boleh keluar dari keturunannya.
Aliran
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah tidak bisa dipisahkan dengan washil bin ‘Atha, nama lengkapnya Abu
Huzail Washil bin ‘Atha, lahir di madinah 80 H (689M) dan meniggal pada tahun
131 H (749) di Basrah. Dasar umum pikiran dalam aliran Mu’tazilah, tersimpul
dalam lima ajaran pokok, yang disebut dengan Ushul al-Khamsah, yaitu:
- Tauhid. Tuhan Maha Esa, tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk-Nya, tidak sama dengan sesuatu,tidak dapat dilihat dengan mata, maha qadim yang tidak ada kesamaannya.
- Keadilan Tuhan. Tuhan tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan orang dan tidak memaksanya. Dasar prinsip keadilan ini terletak dalamkemampuan akal untuk berbuat baik, dan keadilan tuhan terletak di dalam kebaika itu.
- Al wa’ad wal wa’id. Janji dan ancaman Tuhan pasti akan terlaksana, yaitu janji berupa limpahan pahala dan ancaman berupa siksaan.
- Manzilah baina manzilatain. Seorag mukmin yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan sebagai mukmin juga tidak dihukumkan sebagai kafir, tapi ia berada di tempat diantara dua tempat. Apabila ia meninggal tetapi belum bertaubat maka ia jatuh kedalam neraka.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Prinsip ini merupakan kewajiban untuk dilaksanakan sesuai dengan dasar-dasar berfikir aliran ini yaitu kekuasaan akal.
Aliran
Mu’tazilah yang dikenal sebagai aliran yang menggali sifat Tuhan itu lahir
sebagai reaksi atas aliran Tasybih dan Tajsim. Washil berpendapat, manusialah
sepenuhnya pencipta buruk dan baik atas perbuatannya, iman dan kafir, taat dan
maksiat, semua mendapat balasan.
Aliran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Golongan
terbanyak dari Salafus Shaleh adalah mereka yang menetapkan sifat-sifat azali
atas Allah swt, seperti ilmu, qodrat, hayat, iradah, sama’, bashar, kalam, dan
sebagainya. Mereka tidak membedakan anatara sifat-sifat zat dan sifat-sifat
fi’il atau perbuatan.
Apabila
Mu’tazilah menolak sifat-sifat atas Tuhan, mereka ini dinamakan sebagai
orang-orang yang menggali sifat-sifat atas Tuhan. Adapun Salafus Shaleh
membiarkannya sebagaimana adanya, sebab manusia tidak mengetahui arti yang
sesungguhnya, dan tidaklah manusia diberati untuk mengetahui ta’wil daripada
ayat-ayat tersebut. Tapi yang ditekanka bagi mereka adalah I’tiqad yang benar
bahwa Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang demikian mereka yakini
dengan seyakin-yakinnya.
Dari
para ulama salaf itu, salah seorang diantaranya yang tidak terang-terangan
menolak ta’wil dan tidak pula condong kepada tasybih adalah Malik bin Anas,
Imam Ahmad bin Hambal, Sufyan Tsauri, Daud bin Ali al-Asfahani. Kemudian
menyusul Abdullah bin Said al-Kullabi, Abdul Abbas al-Kalanisi, Al-Harits bin
Asad al-Muhasibi yang tergolong kaum salaf yang punya andil memecahkan
masalah-masalah ilmu kalam, sehingga mereka kemudian memperkuat aqaid-aqaid
salaf dengan metode kalam, sampai berkembang secara khusus dalam pemikiran Imam
Abul Hasan al-asy’ari.
Konsep
Imam Asy’ari merupakan dasar pikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai konsepsi
jalan tengah di antara dua kutub pendapat yang ekstrim. Disatu pihak aliran Mu’tazilah
dengan penolakan dan penanggalan atas sifat-sifat Tuhan, dan di pihak lain ada
aliran Tasybih dan Tajsim yang secara harfiah dan dengan pikiran
yang amat sempit menyamakan bahwa Tuhan adalah sama dengan mahluk biasa. Di
dalam hal ini al-Makhrizi menyatakan:”Hakekat aliran Asy’ari (Rahimmullah)
adalah jalan tengah yang menolak sifat-sifat yaitu Mu’tazilah dan yang
berlebih-lebihan menetapkan sifat yaitu Tajsim.
Imam
Asy’ari membahas masalah zat dan sifat di atas dasar pembahasan yang asasnya
adalah Naqal dan akal, dengan secara hati-hati menyisihkan adanya Tasybih (keserupaan
antara Tuhan dengan makhluk). Dalam kitabnya Al-Luma “Tatkala engkau
menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh makhluk, katakanlah bahwa jika
sekiranya menyerupainya tentulah hukumnya sama dengan hukum yang baru. Jika
diserupakan maka tentu tidak lepas dari seluruhnya atau sebagiannya, dan jika
diserupakan, keseluruhannya maka keadaannya sama dengan yang hadits
keseluruhannya, dan jika sebagian maka keadaannya serupa untik sebagian dengan
yang hadits. Yang demikian adalah semuanya mustahil bagi yang qadim.”
Imam
Asy’ari menetapkan 7 sifat yang azali lazim bagi zat Tuhan, beliau berkata:”Allah
Ta’ala Maha Tau dengan ilmu-Nya, dan Maha Berkehendak dengan Iradah-Nya,
Maha Berkuasa dengan Qodrat-Nya, Maha Berkata-kata dengan Kalam-Nya,
Maha Melihat dengan Bashar-Nya, Maha Hidup dengan Hayat-Nya.”
Pendapat
Imam Asy’ari mendapat tentangan dari filsuf Andalusia yaitu Ibnu Rusyd, yang
menyatakan bahwa konsep Asy’ari membawa kepada Tajsim, akan tetapi
pendapat-pendapat Asy’ari tidaklah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd.
Taftazani menunjuk kepada kitabnya” menerangkan kepada Syeikh kami bahwa Allah
Ta’alaa adalah hidup dan bagi-Nya hayat yang azali, bukanlah yang demikian itu
‘aradh dan tidaklah mustahil bersifat baqa…”
Berbeda
dengan aliran Mu’tazilah, Ahlus Sunah Wal Jama’ah berpendapat bahwa manusia dan
perbuatannya adalah makhluk Allah, baik dan buruknya adalah Tuhan yang
menjadikannya. Ahlus Sunah menolak pendapat yag menyatakan bahwa makhluk
menciptakan perbuatannya sendiri,sebab pendapat yang demikian membawa kepada
adanya dua pencipta dan barang siapa yang berpendapat demikian akan berakibat
kepada syirik dalam penciptaan dan sudah tentu membawa kepada kekufuran.
Ahlus
Sunah Wal Jama’ah menetapkan, manusia mempunyai kesanggupan yang dijadikan
Allah atas hamba-Nya berbarengan dengan perbuatan hamba, tidak
mendahului dan tidak kemudian dari perbuatan itu. Hal ini berarti bahwa manusia
mempunyai kesanggupan atas perbuatan dengan kesanggupan yang diberikan oleh
Tuhan kepadanya.
Ahlus
Sunah Wal Jama’ah menolak pendapat Jabariyah yang menyatakan "bahwa Allah-lah
yang memaksa manusia berbuat maksiat sesuai dengan takdirnya, kemudian orang
itu diazab". Penolakan ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan Al-Qur’an,
dan juga tertolak oleh pikiran, jika sekiranya Tuhan berbuat demikian, maka
bearti Tuhan adalah dzalim. Jelaslah bahwa Ahli Sunah percaya terhadap Allah
swt. Sebagai pencipta perbuatan manusia, berbeda dengan Mu’tazilah yang
menyatakan bahwa manusialah pencipta perbuatannya, dan berbeda pula dengan
Jabariah yang menyatakan bahwa" manusia pada asasnya tidak memiliki kekuasaan
apa-apa", sedang Ahlus Sunah berpendapat "manusia mempunyai amal ikhtiar." Dan
demikian Tuhan sebagai pencipta dan mengadakan, namun manusia berusaha dan
berikhtiar.
Maka
segala amal perbuatan manusia yang dikerjakannya itu pada hakekatnya kembali
kepada Allah swt karena Allah-lah yang menciptakannya dan memberi pertolongan
kepadanya. Dalam hal ini meskipun segala perbuatan dan hasil perbuatan itu pada
hakikatnya dari Allah, namun tidak pada tempatnya menyandarkan hal-hal yang
buruk kepada Allah swt.
Secara
ijma’ Ahlus Sunah menetapkan perlunya Imamah atau khalifah untuk seluruh kaum
muslimin, dan caranya melalui pemilihan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Di dalam
Imamah atau khalifah diperlukan benerapa syarat, menurut Ibnu Khaldun bahwa
syarat-syarat Imamah itu antaralain, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, adil,
kompeten, dan sempurna keadaan indar tubuhnya.
Jumhur
Ulama Ahlu Sunah, menetapkaan syarat-syarat Imamah itu antara lain dengan empat
syarat:
- Quraisy, pada dasarnya siapa saja dapat diangkat menjadi khalifah, tetapi lebih afdhal dan jika mungkin adalah yang dari Quraisy.
- Bai’at, seorang khalifah dalam memangku tugasnya dimulai setelah dilakukan bai’at. Bai’at menurut Ibnu Khaldun adalah janji untuk taat.
- Demokrasi, ajaran islam mengenai Negara dan rakyat di dasarkan kepada demokras. Karena itu pula maka dalam menentukan kepada Negara atau imam, haruslah dilalui syarat-syarat demokrasi itu. Dalam menetapkan segala kebijakan harus dengan bermusyawarah karena dengan bermusyawarah itu membawa segala kebijaksanaan menjadi terlaksana dan dengan kesepakatan permusyawaratan itu membawa persatuan bangsa.
- Keadilan, syarat mutlak bagi suatu pemerintahan khalifah yaitu keadilan.
Seperti
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 135:
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin,
Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Aliran
Salaf
Aliran
Salaf adalah orang-orang Hanabilah (pengikut Ahmad bin Hanbal) yang berusa
menghidupkan dan mempertahankan teologi ulama-ulama Salaf yang berpucak pada
ajaran Ahmad bin Hanbal, muncul pada abad IV Hijri. Keterikatan Ahmad bin
Hanbal dengan teks-teks Al-Qur’an dan sunah Rasulullah telah membuat pandangan
begitu sederhana dengan suatu pendirian yang teguh.
Kesederhanaan
dan pendiriannya yang teguh itu Nampak ketika ia menghadapi Minhat
yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Gubernur Baghdad terhadap Ahmad bin
Hanbal. Kejadian minhat merupakan peristiwa besar yang diketahui dan
dirasakan oleh seluruh kaum muslimin serta meninggalkan pesan abadi agar
mempertahankan nash-nash agama di atas segala pertimbagan rasional.
Ciri
khas mereka adalah kembali kepada penafsiran harfiah atas nash-nash dan
memunculkan tradisi kalam dan hukum sebagaimana ketika perkembangan pertama
dalam islam, terutama pemikiran Ahmad bin Hanbal, serta menolak dominasi akal
dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Bagi Ahmad bin Hanbal Iman adalah
perkataan dan perbuatan, iman akan bertambah dengan melakukan perbuatan yang
baik dan akan berkurang jika melakukan kemaksiatan. Ia juga menyatakan , Tuhan
bersifat zat-Nya yang tinggi dengan sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Sama’, Bashar, Kalam,dan lain sebagainya. Ia menetapkan seperti yang
terdapat di Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Ahmad
bin Hanbal menetapkan kewajiban mengimani qadar baik dan buruk serta wajib
menaati perintah Allah. Tokoh terkenal yang membangkitkan Faham Hanbali
tersebut adalah Ibnu Hazm, lahir pada hari terakhir Ramadhan 384 H bertepatan
dengan 7 November 994 M di Cordova dan wafat pada tahun 456 H atau 1604 M di
Andalusia.
Menurut
Ibnu Hazm Al-Qur’an banyak menyebut dengan kata Asma’ bukan dengan kata sifat.
Dan lafadz sifat itu ditimbulkan oleh Mu’tazilah. Ibnu Hazm tidak membenarkan
menyembah, meminta, serta berdo’a kepada selain Allah, karena hanya Allah lah
satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan-Nya. tidak ada
orang yang dianggap suci kecuali para Nabi dan Rasul karenanya bersifat
ma’shum. Dengan demikian ditolak wasilah dalam memohon kepada Allah,
karena perbuatan yang sedemikian itu adalah syirik.
Iman
itu meliputi pengakuan dalam hati, dinyatakan dengan lisan, dan diamalkan
dengan anggota. Iman menurut Ibnu Hazm adalah, mengenal, meyakinka,
membenarkan, semua rukun Iman disertai mentaati semua perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya
.
Ibnu
Taimiyah tokoh pemikiran islam Salafus Shaleh di bagian Timur,
dilahirkan di Harran pada tahun 661 H/1263 M, dan meninggal di Damaskus 728
H/1328 M. Bagi Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an sebagai dasar Syari’ah dapat diterima
oleh akal yang benar dan bathin yang bersih. Apalagi Al-Qur’an telah diperjelas
oleh Hadits dan dimanifestasikan dalam tingkah laku para Salafus Shaleh.
Dengan kata lain menurut dia Islam yang benar adalah bersumber kepada Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi di ikuti sahabat Salafus Shaleh. Mengapa Salafus
Shaleh? karena nash sendiri menetapkan bahwa generasi Salafus Shaleh
adalah generasi terbaik setelah generasi Rasulullah.
Dari
mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Salafus Shaleh yaitu mereka
para sahabat yang berpegang teguh kepada Syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an,
Sunnah, Atsar, dan Ijma’, percaya kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, para
Rasul dan Nabi, kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, para Malaikat, pada
hari akhir, surga dan neraka, dan percaya kepada Qadha dan Qadar baik dan
buruknya.
0 comments:
Post a Comment