BLOG TENTANG : PENGERTIAN, MANFAAT, PENDIDIKAN, KESEHATAN, SERTA CARA, PETUNJUK DAN DO'A-DO'A

Undang-Undang Hak Asuh Anak dan Pandangan Islam Tentang Hak Asuh Anak

Undang-Undang Hak Asuh Anak dan Pandangan Islam Tentang Hak Asuh Anak
Hak asuh anak adalah  merupakan problema yang sering terjadi yang tidak tanggung-tanggung sampai dimeja hijaukan demi mendapatkan hak mengasuh anak yang selama belum bercerai mereka asuh bersama. Namun setelah rumah tangga tidak bisa dipertahankan dan terjadi perceraian maka timbul persoalan baru tentang siapa yang berhak mengambil anak yang selama ini diasuh bersama.
Untuk memutuskan persoalan tersebut maka ada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga agama.

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang hak asuh anak sebagai berikut :

1. Berdasarkan  ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.  
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan, Maka putusnya suatu hubungan suami istri akibat perceraian, tidak mengakibatkan hubungan kedua orang tua juga ikut terputus. Sebab orang tua punya kewajiban untuk mengasuh anak, mendidik, dan membiayai biaya hidupnya.

2. Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”

3. Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”
    Dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 adalah merupakan pedoman seorang hakim dalam memutuskan pemberian hak asuh anak yang berbunyi : 
“Dalam hal terjadi perceraian :
a)    pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b)    pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c)    biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Ketentuan KHI diatas  tidak dapat berlaku secara umum, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama).  Sedangkan  di Pengadilan Negeri) yang bersifat universal, karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Pandangan Islam Tentang Hak Asuh Anak.

“Bahwa Rasulullah SAW, pernah didatangi oleh seorang perempuan ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini dahulu berada dalam kandungan saya, dan susu saya sebagai minumannya, serta pangkuan saya menjadi tempat ia mencari kash saying. Ayahnya telah mentalak saya dan sekarang ia ( ayahnya) ingin merebut anak ini dari saya. Rasulullah bersabda kepada perempuan itu: “Engkau lebih berhak daripada ayah anak itu selama engkau bbelum menikah lagi.”  (H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim)

.    Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ seorang ibu itu lebih  mashlahah  dibandingkan seorang ayah. Karena, sang ibu sangat hati-hati dan teliti terhadap anak kecil. Dia juga lebih tau hal-hal yang menyangkut makanannya. Ia menggendong dan menuntunnya dengan penuh kesabaran. Selain lebih mampu mengetahui kondisi anak ia juga lebih menyayanginya. Dalam hal ini, ibu lebih mengerti, lebih mampu, lebih sabar disbanding seorang ayah. Maka, seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak kecilnya yang belum baligh di dalam syariah”.

  Ketentuan bahwa anak diasuh ibu bukan ayah hanyalah apabila anak itu masih kecil dan belum mumayiz. Kalau sudah mumayiz, maka anak diberi pilihan apakah ia ingin ikut ayahnya atau ibunya,lalu si anak berada dalam asuhan salah satu yang dipilihnya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan.

عن أبيؤهريرة رضى الله تعالى أن امرأة قالت : يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ان زوجى يريد ان يذهب بابني وقد نفعني وسقاني من بئر أبي عنبة فجاء زوجها فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا غلاء هذا أبوك وهذا أمك  فخذ بيد ابهما  شئت  فأخذ بيده أمه 
فانطلقت به (رواه أحمد والأربعة وصححه الترمذي)

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata : sesungguhnya seorang wanita berkata : ya Rasulullah sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal ia telah memberi manfaat bagi saya, ia sudah dapat mengambil air minum untukku dari sumur Abu Inabah. Setelah suaminya itu datang , lalu Nabi SAW bersabda kepada anak itu: Wahai anak, ini ayahmi, ini ibumu, peganglah mana diantara keduanya yang kamu sukai. Lalu anak itu memegang tangan ibunya. Lalu wanita itu berangkat pergi bersama anaknya” . (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’ah . hadist ini dinilai shahih At-Tirmidzi dan Ibnul Qathan) .

Para ahli fiqih menyebutkan beberapa syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Namun jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
  1. berakal dan telah baligh, sebab  masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau untuk mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuhan, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
  2. Orang yang bisa mengasuh haruslah sama agana dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. :
  3. Dia mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
  4. Ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda Nabi :
“Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud )

JIka si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua orangtua masih berselisih, maka ada dua hal yang harus diperhatikan:
Pertama : Anak yang diasuh adalah laki-laki.
Terkait dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
  1. Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan lebih tepat.
  2. Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.
  3. Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasrkan hadits Abu Hurairah: "Seorang perempuan datang menghadap Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi manfaat padaku.” Rasulullah saw bersabda: “Berundilah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku?” Nabi saw bersabda pada sianak agar memilih, “Ini ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud  An-Nasa’i  dan At-Tirmidzi ).
 Para Ulama berbeda pendapat, Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun. Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Undang-Undang Hak Asuh Anak dan Pandangan Islam Tentang Hak Asuh Anak Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

0 comments:

Post a Comment