I. PENDAHULUAN
Metode-metode dan penemuan-penemuan sains modern telah mendominasi
dunia, dan filsafat hanya dianggap sebagai pelayan sains. Kesuksesan dan
kemajuan ilmiah telah diterima sebagai kebenaran, konsepsi dunia ilmiah
mendikte apa yang boleh diterima secara filosofis, karena filsafat diturunkan
menjadi peran sekunder, tugas justifikasi sains tidak lagi dianggap esensial.
Sain menentukan apa yang dimaksud dengan kebenaran, dan tidak ada ruang untuk
mempertanyakan apakah sain satu-satunya kebanaran atau hanya sebuah jalan
menuju kebenaran.(R. Trigg, dalam Rationality and Science)
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Ilmu
Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai
sebagai filsafat yang berkaitan dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu
merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu
itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus,
namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan
filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi
makna khusus tentang istilah tersebut.
Para akhli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian
filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang
tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat
ilmu, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu :
- The
philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for
science what philosophy in general does for the whole of human experience
(Peter Caws)
- The
philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in
the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical
presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their
validity from the points of view of formal logic, practical methodology
anf metaphysics (Steven R. Toulmin).
- Philosophy
of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and
tries to determine the value and significance of scientific enterprise as
a whole (L. White Beck)
- Philosophy
of science.. that philosophic discipline which is the systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presupposition, and its place in the general scheme of intelectual
discipline (A.C. Benyamin)
- Philosophy
of science.. the study of the inner logic of scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael
V. Berry)
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi
pandangan beberapa akhli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan
makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu
dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin memaknai
filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal
yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan
anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut
pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika. Sementara itu
White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap
metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan,
masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry
setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta
hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang
memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu
itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk
difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap
hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu
itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan
Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science, methodology, dan
science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam
titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian
filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu
sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi
ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa
ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya
ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan
- pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi
ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian
filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat
ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu.
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam
perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat
banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat
menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban
substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi
secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang
kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai
upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu
tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu
sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
B. Orientasi Filsafat Ilmu
Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan
apa iti ilmu, maka pemahaman mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu
mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam memaknai filsafat ilmu
tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab sebagai suatu istilah,
filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun
telah memberikan pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman tentang
makna filsafat dan makna ilmu akan sangat membantu dalam memahami pengertian
dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science).
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu
merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat
ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan
pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi
dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.
Secara historis filsafat dipandang sebagai the mother of
sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan pengakuan Descartes
yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari filsafat.
Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial melahirkan
ilmu-ilmu sosial, namun dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat menonjol,
bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara filsafat
dengan ilmu, meski hal itu sebenarnya hanya upaya menyembunyikan asal usulnya
atau perpaduannya seperti terlihat dari ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa :
meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari
aliran filsafat tertentu, namun ia sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman
filosofis partikular baik tentang karakteristik alam maupun pengetahuan kita
tentangnya, dan unsur terpenting di dalamnya adalah Cartesianisme yang tetap
bertahan sebagai bagian inheren dari pandangan dunia ilmiah modern. dominasi
ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menjadikan
pemikiran-pemikiran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berdampak pada
cara berfikir yang sangat pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung
menganggap pemikiran radikal filosofis sebagai sesuatu yang asing dan terasa
tidak praktis, padahal ilmu yang berkembang dewasa ini di dalamnya terdapat
pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr .
Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan
manusia, berbagai kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah
menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu sarana yang penting bagi
kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai dasar bagi suatu ukuran
kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat
didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dilakukan, seperti
kata Leenhouwers yang menyatakan:
Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos
realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan
eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada
fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak langsung, dialami dari
pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti
objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi
jawaban prihal kausalitas yang paling dalam.
pernyataan di atas mengindikasikan bahwa adalah sulit bahkan
tidak mungkin ilmu mampu menembus batas-batas yang menjadi wilayahnya yang
sangat bertumpu pada fakta empiris, memang tidak bisa dianggap sebagai
kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya diberlakukan
dalam wilayahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu refleksi radikal
terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi upaya memahami
kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.
Meskipun dalam tahap awal perkembangan pemikiran manusia
khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada
tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang
masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya tentang manusia)
masing-masing. Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai homo economicus yakni
makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi
memandang manusia sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin
berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain, hal ini menunjukan suatu
pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif, memang diakui bahwa
dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin terspesialisasi,
dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring
dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk mampu membuat
generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis
(pertentangandalam istilah)
Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang
sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk
melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya, hal
inipun dapat membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan
kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus
diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan
bidang lain yang hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam hubungan
ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan tentang bagaimana sebenarnya
substansi ilmu itu, hal ini karena filsafat ilmu merupakan pengkajian lanjutan,
yang menurut Beerleng, sebagai Refleksi sekunder atas illmu dan ini merupakan
syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai
serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman
tentang asas-asas, latar belakang serta hubungan yang dimiliki/dilaksanakan
oleh suatu kegiatan ilmiah.
C. Perkembangan Filsafat Ilmu
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2,
yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa
perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak penderitaan
manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak
dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada nasib
manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa
California Institute of Technology mengatakan “ Perhatian kepada manusia itu
sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang
tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah
ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap
kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).
Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun
1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan
manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal
itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga
hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban
manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi
apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy
(1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti Northrop yang
mengatakan “ it would seem that the more civilized we become , the more
incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis
Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation :
erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any
dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human
conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa
memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi
hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis
menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan
agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan
kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna
dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 :
131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai sejak tahun
1965.
Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai
berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini
lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari sikap apologetik
umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan
sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974
yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti
dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.
Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan
muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu,
seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu seperti
karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang
ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar
Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya ,
yang pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan
ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan
filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik
terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim
universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian
agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael
Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan
modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada
dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar,
namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya
Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan
bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia
mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan
standar yang berlaku lintas budaya.
Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu
makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan
masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak
terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi.
Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar
biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat,
sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin
sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave,
dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada
gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang
pemikiran filsafat.
Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan
dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam
perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih
mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi
ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti
ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat
evaluasi ulang dan pengkajian yang serius.
Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat
ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis
oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini
merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah dan
filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping
konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya
pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang
dapat mematahkan teori yang telah dominan.
Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pemikiran ilmiah
telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan
berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut
kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi
riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu
riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu,
pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan
sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000
:10 ) .
Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains
yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama
oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas
orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ).
Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung
sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang konseptual atau
yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang
normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang
memperoleh pengakuan sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan
periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi berbagai
teori untuk mendapat pengakuan intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam
periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan
asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain
dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk
melakukan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi
masalah-masalah yang layak dibicarakan dan dikaji
Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak
menemukan hal-hal baru yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan
kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, kemudian
pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya ditemukan paradigma
baru yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma baru
tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru sampai ditemukan lagi
paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :
Pencapaian Manusia dalam pemikiran ilmiah
|
|
Sains
Normal
|
|
Paradigma
|
|
Anomali
|
|
Perubahan
paradigma/ revolusi sains
|
|
Sains
Normal yang baru
|
|
Paradigma
Baru
|
Gambar
4.2, Struktur perubahan ke-Ilmuan
Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir ,
tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains
berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru
tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara
substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu
paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan
dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu
berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.
D. Ciri-Ciri Ilmu Modern
Dalam bab terdahulu telah dikemukakan ciri-ciri dari suatu
ilmu, ciri-ciri tersebut pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam
suatu disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi
sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami perubahan yang sangata cepat,
perubahan ini berdampak pada pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu,
perolehan ilmu, serta manfaatnya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung
dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari berbagai kebijakan
kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan
prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern,
adapun ciri-ciri tersebut adalah :
1. Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat
dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik
etis maupun agamis, karena memang salah satu aksioma positivisme adalah value
free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science.
2. Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan
konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi selalu mengacu pada
upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup , meskipun hal itu dapat mendorong
gersangnya ruhani manusia akibat makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang
terus dipupuk oleh media teknologi modern seperti iklan besar-besaran yang
dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan
sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi
kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
3. Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan
teknologi modern menunjukan percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam
waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini jelas sangat berbeda
denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau menurut Alfin Tofler dari
gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk
mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana diketahui
gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.
4. Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai
kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang
kurang memperhatikan dampak lingkungan.
E. Paradigma Ilmu Modern Menurut
Beberapa Aliran
Secara historis paradigma sains telah mengalami
tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya
“Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut
masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles sampai David Hume,
dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada
upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan .
Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini
menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif , yang
mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan .
Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai
reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan
sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini
positivisme.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman
modern ini nampaknya adalah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam
positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih
mengetahuiberbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang
dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut :
Tabel 4.2. Macam-macam Paradigma
Ilmu
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut
masih dapat dikelompokan pada kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari
esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan
yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma
kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma
interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat
partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik
strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.
Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan
formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis
sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi
model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam
paradigma itu berbeda.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini
adalah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak
memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak
berarti paradigma lainnya tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam
hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini
terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong
berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya
paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih
bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas
dunia dan kehidupan di dalamnya.
F. Hubungan Filsafat Dengan Ilmu
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah
merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi,
dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini
mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan
batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk
lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah
intelektuan manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara
tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat
persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan
ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan
ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam
memberikan makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu
dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya
menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut
baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat
konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang
terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan
dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih
bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan
observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya
untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat
berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif
dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat
lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya
memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik
pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan
antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga
mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta
seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat
mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti
bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya
mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan
objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu
mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif
dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris
dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah
yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan
Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh
filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976),
Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau
eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan
penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh
budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas
alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang
disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) mengatakan bahwa
ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Dari
sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya
sendiri-sendiri
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas,
namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung
pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh
karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting,
terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya
filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat
dari objek kajian dan telaahannya
G. Bidang Kajian dan Masalah-Masalah
dalam Filsafat Ilmu
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami
perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu
yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun
berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup
kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang
perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa
pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu :
1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian
filsafat ilmu adalah:
a. Probabilitas
b. Induksi
c. Hipotesis
2. Ernest Nagel
a. Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
b. Construction of scientific concepts
c. Validation of scientific conclusions
3. Scheffer
a. The role of science in society
b. The world pictured by science
c. The foundations of science
Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih
bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S.
Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology
yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar
filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh
ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan
bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan
filsafat ilmu adalah :
1. ontologi
2. epistemologi
3. axiologi
ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu,
dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and
appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan
subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya
ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar.
Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan
ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.
Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan
di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat
ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik
kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu.
Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun)
:
1. masalah-masalah metafisis tentang ilmu
2. masalah-masalah epistemologis tentang ilmu
3. masalah-masalah metodologis tentang ilmu
4. masalah-masalah logis tentang ilmu
5. masalah-masalah etis tentang ilmu
6. masalah-masalah tentang estetika
metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada,
istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian,
karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan
tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan
dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah,
maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang
dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun
dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai
kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem
etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya
untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan
kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan
dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila
berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
H. Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan
berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut
adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut.
Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran
manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran,
segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti,
atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut
dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah
dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern
manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan,
Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena
itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya
kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri
dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran
baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat
dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu :
1. kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah
common sense atau akal sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman
individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif
sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa
menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi
kehidupan individu/orang tersebut.
2. Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif
karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya
dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak relatif sama.
3. Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya
spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila
metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal
yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat mempercayainya, karena cara
berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
4. kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada
informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya
dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan
dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu
kebenaran.
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah
sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa
yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berbeda.
Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara mengenai sesuatu hal, dan apakah
hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran
berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan,
kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir
tertentu.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang
srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu,
apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu
para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang dapat
dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :
1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth).
Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning
- is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is
the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which
agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can
be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers,
keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti
yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau
seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur adalah ibukota Malayasia, maka
pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu
Kualalumpur.
2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth).
Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan antara suatu pernyataan dengan
pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu
benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar.
Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar.
Misalnya Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati,
kesimpulan uhar pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama
(semua manusia pasti mati).
3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut
teori ini kebenaran adalah sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan
kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar
apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila
berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan
titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria
fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori
koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut
sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan
sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis.
I. Keterbatasan Ilmu
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat terintegrasi
dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan
berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah ilmu itu
sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata
disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu
itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh persoalan manusia dapat
dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya menggambarkan
betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa
tentatifnya kebenaran ilmu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan
pendapat para akhli berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut
antara lain adalah :
1. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu
yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab
selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru yang
dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya
perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru tiu akan
disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya.
2. D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu
menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai ilmu itu
sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi
ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?, dimanakah batas-batas lapangan
yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?,
sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu
yakni filsafat.
3. Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia
dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang
melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung
semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui
itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah
lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi
makin menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu
tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka
untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang
sebelumnya tidak diketahui.
4. J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita
menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan oleh zat hidup itu,
bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu tentang keadaan
sifatzat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya
adalah rahasiah abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengan
perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu
itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang
alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya
selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan
demikian dpatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu :
1. ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau
mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal,
or know the real through and as phenomenal - R. Tennant)
2. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena
alam/kehidupan manusia dan lingkungannya
3. kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak
keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang
mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan cenderung
bekerja hanya dalam batas wilayahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat
ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan
yang berada dalam wilayah ilmu tertentu.
J. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna
menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat
diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah
menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu
filsafat ilmu bermanfaat untuk :
- Melatih
berfikir radikal tentang hakekat ilmu
- Melatih
berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
- Menghindarkan
diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai
satu-satunya cara memperoleh kebenaran
- Menghidarkan diri dari egoisme
ilmiah, yakni tidak
0 comments:
Post a Comment