BLOG TENTANG : PENGERTIAN, MANFAAT, PENDIDIKAN, KESEHATAN, SERTA CARA, PETUNJUK DAN DO'A-DO'A

Makalah :Tentang Musyawarah Menurut Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latarbelakang
Umat Islam sangat menghargai dan memuliakan Alquran. Demikian agungnya kitab suci ini, sehingga membacanya saja, sudah dianggap sebagai sesuatu yang bernilai ibadah[1]. Selain itu, dalam kehidupan umat Islam, Alquran menempati posisi penting dan menentukan hidup keagamaan mereka. Isi Alquran diyakini sebagai petunjuk kehidupan yang dapat mengantar manusia ke arah kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat kelak.
Kitab suci Alquran sarat dengan berbagai petunjuk yang seharusnya diaplikasikan dalam realitas kehidupan ini, dan salah satu dari petunjuk Alquran tersebut adalah musyawarah. Penafsiran tentang musyawarah agaknya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah yang padat makna ini mengalami evolusi. Seperti dijelaskan Hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan[2]. Keterkaitan musyawarah dengan aspek-aspek lain, seperti dikemukakan Hamka tersebut, merupakan suatu indikasi bahwa ayat-ayat tentang musyawarah sangat menarik untuk dikaji.
Dalam mengkaji ayat-ayat tentang musyawarah, para mufassir pada umumnya menafsirkannya dengan metode tahlīliy[3]. Namun seiring dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh umat manusia, maka upaya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang musyawarah dengan metode mawdhu’iy[4] (tematik) nampaknya sangat urgen dan signifikan.

B.     Rumusan Masalah

Dari latarbelakang yang telah dikemukan diatas , majka dapat dirumuskan  dua pokok rumusan masalah:
1.      Bagaimanakah konsep musyawara menurut Alquran?
2.      Adakah unsur pendidikan dan manajemen dalam musyawarah menurut Alquran

BAB  II
PEMBAHASAN

1. Himpunan ayat-ayat tentang musyawarah

Sesuai hasil penelusuran penulis pada Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, ditemukan tiga ayat Alquran di dalamnya terdapat istilah yang akar katanya menunjukkan musyawarah, yakni ; QS. al-Baqarah (2): 233 yang di dalamnya terdapat term tasyāwur; QS. Ali Imrān (3): 159 yang di dalamnya terdapat istilah syāwir; dan QS. al-Syūra (42): 38 yang di dalamnya terdapat istilah syūra[5]. QS. al-Baqarah (2): 233 dan QS. Ali Imrān (3): 159, turun pada periode Madinah. Sedangkan QS. al-Syūrah (42): 38, turun pada periode Makkah[6]. Ketiga ayat tersebut, akan dihimpun berdasarkan kronologi turunnya sebagai berikut :
a. QS. al-Syūra (42): 38,
Terjemahnya :       

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka[7].

b. QS. Ali Imrān (3): 159
 
Terjemahnya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya[8].

c. QS. al-Baqarah (2): 233
Terjemahnya :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan[9].

2. Sabab al-nuzūl dan munāsabah ayat
QS. al-Syūra (42): 38 yang dikutip di atas, turun pada periode Makkah. Dalam hal ini, Ibn Kaśīr menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa permusuhan yang sedang memuncak di Makkah, sehingga sebagian para sahabat terpaksa harus berhijrah ke Habsyah.[10] Tidak ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai permusuhan apa yang dimaksudkan oleh Ibn Kaśīr tersebut, namun dapat diprediksi bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tahun kelima kerasulannya, karena pada tahun ini, Nabi saw menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai tempat pengungsian[11].
Masih terkait dengan kronologi turunnya QS. al-Syūra (42): 38 tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa “ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik”[12]. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa turunnya ayat yang menguraikan syūra pada periode Makkah, menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah anjuran Alquran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah swt. di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi Saw. dan para sahabatnya seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrah ke Madinah.
Di Makkah (sebelum periode Madinah), memang telah ada lembaga musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di rumah Qusay ibn Kilāb, yang disebut Dār al-Nadwah, beranggotan para pemuka kabilah yang disebut Malā’. Kegiatan tasyāwur ini biasa juga dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh, termasuk orang-orang kaya dan yang dipandang cendekia atau bijak[13]. Dari keterangan ini, diperoleh informasi yang akurat bahwa Alquran telah meligitimasi permusyawaratan sejak awal kedatangan Islam.
Ayat sebelumnya, yakni ayat 37 dalam surah yang sama, Allah swt menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang sering memberi maaf[14]. Lalu pada ayat ke 38 ini, Allah menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang yang memenuhi seruan-Nya, yakni mereka yang melaksanakan shalat dan segala urusan mereka dimusyawarahkan. Pada ayat selanjutnya, yakni ayat 39 Allah swt menjelaskan orang-orang diperlakukan secara zalim, kemudian pada ayat 40, kembali Allah swt. menjelaskan tentang pahala orang yang selalu memberi maaf[15]. Dengan mencermati kandungan QS. al-Syūrah tersebut, khususnya munāsabah al-āyat antara ayat 37 sampai dengan ayat 40, maka dapat dirumuskan bahwa masalah musyawarah memiliki keterkaitan dengan masalah pemaafan.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa dalam forum musyawarah seringkali muncul sifat-sifat egoistis, dan mereka yang terlibat dalam musyawarah tersebut saling mempertahankan pendapatnya, sehingga muncul ketegangan di antara mereka. Dalam keadaan seperti ini, maka diperlukan sikap lapang dada dan kepada mereka diharapkan untuk menjauhi sikap marah sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 37. Sikap marah tersebut akan hilang bilamana mereka saling memaafkan, dan sikap saling memaafkan adalah sesuatu yang terpuji, bahkan pada ayat 40 dijelaskan bahwa Allah swt memberi pahala kepada orang-orang yang selalu memaafkan sesamanya.
Berdasar pada intisari munāsabah ayat di atas, maka diketahui bahwa sikap marah yang identik dengan sikap kasar adalah sesuatu yang mesti dihindari dalam bermusyawarah. Praktis bahwa yang harus dinampakkan dalam ber-musyawarah adalah sikap lemah lembut sebagai antitesa dari sikap kasar, sebagai mana yang ditegaskan dalam QS. Ali Imrān (3): 159 yang turun pada periode Madinah.
Ayat 159 sampai ayat 165 dalam QS. Ali Imran, berbicara tentang perang Uhud. Karena itu, Ibn Kaśīr menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya QS. Ali Imrān (3): 159, secara khusus berkaitan dengan perang Uhud[16]. Ayat ini Ditambahkan oleh al-Wāhidiy berdasarkan riwayat dari al-Kalabi, ia berkata bahwa ayat tersebut turun ketika para tentara Islam berlomba-lomba menuntut rampasan perang[17]. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi saw berkali-kali mengutus pasukan ke medan jihad. Pada suatu waktu, ada pasukan yang kembali dan di antaranya ada yang mengambil ghanīmah sebelum dibagikan menurut haknya. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan mengambil rampasan perang sebelum dibagikan oleh amīr (pimpinan)[18].
Berdasar pada sabab nuzūl ayat tersebut di atas, maka dipahami bahwa ketika terjadi perang Uhud, Nabi saw. kecewa atas tindakan tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan di pihak Nabi. Melalui QS. Ali Imrān (3): 159 Allah swt mengingatkan Nabi saw bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus bersikap lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka dan bermusyawarah dengan mereka.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi saw. Ia bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, ia menerima usul mayoritas mereka, walau Nabi saw sendiri kurang berkenan. Nabi saw tidak memaki dan mempersalahkan sahabat yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus[19]. Inilah perangai yang dicontoh-kan oleh Nabi saw, ia lemah lembut dan tidak berhati kasar, ia selalu memaafkan sahabatnya dan bersedia mendengar serta menerima saran dari sahabat yang ikut bermusyawarah.
Dengan mencermati sabab nuzūl dan intisasari QS. Ali Imrān (3): 159 tersebut, kelihatan bahwa ayat ini masih memiliki munāsabah yang erat dengan QS. al-Syūra (42): 38 yang telah diuraikan sebelumnya yang sama-sama berbicara tentang sikap terpuji yang harus ditampilkan dalam bermusyawarah, yakni sikap pemaaf dan menghindari sikap kasar. Terkait dengan ini, Mahmūd Hijāziy menyatakan bahwa munāsabah ayat yang diperoleh dalam QS. Ali Imrān (3) 159 pada aspek nikmat-nikmat dan keutamaan yang dari Allah swt dan rahmat-Nya, sehingga pada diri Nabi saw selalu tampil dengan sikap memafkan, dan menyepakati hal-hal yang baik untuk kepentingan dunia dan akhirat[20]. Sikap dan perangai Nabi saw tersebut harus dicontohi oleh umatnya, terutama ketika mereka bermusyawarah dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi, baik persoalan tersebut menyangkut masalah pemerintahan dalam skop yang luas, maupun masalah rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti yang ditegas-kan dalam QS. al-Baqarah (2): 233.
Dalam berbagai literatur tafsir dan ilmu tafsir, serta kitab-kitab yang membicarakan tentang sabab nuzūl, penulis belum menemukan keterangan tentang latar belakang turunnya QS. al-Baqarah (2): 233 tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa ayat ini, turun pada periode Madinah. Dalam hal ini, berdasar pada pernyataan Mannā al-Qaththān bahwa “semua ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah adalah madaniy[21]. Antara lain muatan pokok ayat ini, adalah memberi petunjuk agar persoalan-persoalan kerumahtanggaan dimusyawarahkan. Dengan demikian, ayat ini masih memiliki munāsabah yang erat dengan ayat-ayat tentang musyawarah yang telah diuraikan sebelumnya.
Mahmūd Hijāziy menjelaskan ayat-ayat yang mendahului QS. al-Baqarah (2): 233 tersebut berbicara tentang masalah talak, kemudian ayat 233 ini berbicara tentang masalah penyapihan. Menurutnya, bahwa kedua masalah ini terkait (ber-munāsabah) dengan masalah keluarga[22] . Masih terkait dengan aspek munāsabah-nya, M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa QS. al-Baqarah (2): 233 masih merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami isteri, maka pembiracaan pada ayat ini adalah tentang anak yang lahir dari hubungan suami isteri itu. Di sisi lain, ia masih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi[23]. Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya, dan persoalan rumahtangganya dimusyawarahkan antara suami isteri.

3. Analisis tematik tentang ayat-ayat musyawarah
Setelah menghimpun dan menguraikan sabāb nuzūl dan aspek-aspek munāsabah dari ketiga ayat tentang musyawarah, masih perlu analisis lebih lanjut terhadap kandungan ayat-ayat tersebut untuk menemukan dan merumuskan konsep musyawarah dalam Alquran secara komprehensif.
a. Lapangan musyawarah dan lembaga syūra
Lapangan musyawarah, terinterpretasi dalam QS. al-Syūrah (42): 38, dan secara global ayat tersebut mengadung konteks pembicaraan mengenai ciri-ciri orang beriman, yakni;
1) Taat dan patuh kepada Allah       (والذين استجابوالربهم)    
2) Menunaikan salat   (واقام الصلاة)
3) Menghidupkan musyawarah  (وامرهم شورى بينهم)   , dan
            4) Berjiwa dermawan         (وممارزقناهم ينفقون)  

Kata  وأمرهم  (urusan mereka) dalam ayat ini, menunjukkan bahwa mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka, serta yang berada dalam wewenang mereka.  Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah   persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Mengenai kata-kata  بَيْنَيُمْ شُورَى (musyawarah antara mereka) terkandung konotasi berasal dari suatu pihak tertentu. Tetapi rangkaian kalimatnya itu mengisyaratkan makna “saling bermusyawarah di antara mereka”[24]. Dengan demikian, ayat ini mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah dan pentingnya lembaga syūra. Dikatakan demikian, karena M. Quraish Shihab mengidentikkan istilah syūra dalam ayat ini dengan demokrasi[25]. Untuk mewujudkan kehidupan berdemokrasi, maka lapangan bermusyawarah harus terbuka secara bebas, dan lembaga syūra harus menganut sistem demokrasi sebagai antitesa dari pola-pola diktator dan egoisme.
Jadi, musyawarah yang merupakan ciri khas demokrasi yang ditawarkan dalam Islam mempunyai dasar yang kuat. Mufassir memahaminya sebagai ajaran bermusyawarah untuk kepentingan pemerintahan dan negara. Di samping itu, ditemukan riwayat bahwa Nabi saw dalam bermusyawarah melibatkan banyak orang. Riwayat tersebut bersumber dari Abū Hurairah sebagaimana yang terdapat sunan al-Turmūzi yakni ;
مارأيت أحدا اكثرمشاورة لأصحاب من رسول الله[26]
Artinya :
Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah bersama sahabat-sahabat, dari pada Rasulullah.

Riwayat di atas mengindikasikan bahwa Nabi saw dalam bermusyawarah senantiasa melibatkan banyak orang. Ini berarti bahwa musyawarah yang dicontohkan oleh Nabi saw merupakan ciri khas demokrasi, karena di dalamnya banyak pihak yang berpartisipasi.
Jika kembali diperhatikan ayat dan hadis yang telah dikutip di atas, ternyata tidak ditemukan petunjuk khas mengenai sistem dan teknik pelaksanaan musyawarah itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem dan teknik musyawarah diserahkan kepada umat.
Lembaga musyawarah itu sendiri memang telah ada pada zaman Nabi, tetapi bentuknya sangat sederhana. Lembaga syūra pada zaman Nabi saw, berbeda dengan zaman kini. Ketika Nabi saw masih hidup, ia tidak dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin melainkan Allah swt yang memilihnya.
Untuk masa kini, lembaga syūra itu sebagai parleman yang dipilih oleh rakyat, sehingga perlu ada pemilihan umum. Demikian pula, ahl al-syūra bukanlah sembarang orang, asal dipilih oleh rakyat, melainkan terdiri dari mereka dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Karena itu, esensi lembaga syūra adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum ataupun kebijaksanaan politik.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan bersama, dan hal ini telah ditegaskan oleh Alquran pada awal datangnya Islam. Agar musyawarah tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan lembaga syūra sebagai tempat bermusyawarah. Dengan adanya lembaga syūra ini, sangat memungkinkan terwujudnya demokrasi.

b. Demokrasi dan orang-orang yang diminta bermusyawarah
Sistem demokrasi dalam perspektif Islam, telah dicontohkan oleh Nabi saw ketika ia membangun negara Madinah sebagaimana yang digambarkan dalam QS. Ali Imrān (3): 159, karena ayat ini turun pada periode Madinah. Dari ayat ini pula secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada Nabi saw, karena mengandung konteks pembicaraan mengenai sikap yang diperintahkan kepada Nabi saw yakni;
1) Sikap lemah lembut (لِنلتَ لَهُم)
2) Memberi maaf (فاعفُ عنهم واستغفرلهم)
3) Perintah bermusyawarah (وشاورهم), dan
4) Perintah bertawakkal (فتوكل على الله)

Kata  وشاورهم(dan bermusyawarahlah dengan mereka), mengandung perintah kepada Nabi saw untuk bermusyawarah dengan sahabatnya. Karena ayat ini adalah dalam konteks madaniyah, dan ketika itu Nabi saw juga sebagai pemimpin negara, maka perintah musyawarah dalam ayat tersebut menunjukkan telah disyariatkan musyawarah secara formal dalam suatu negara.
Menurut M. Quraish Shihab, bahwa petunjuk ayat tersebut tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi saw. Di sini Nabi saw berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak kandungan-Nya telah ditujukan kepada mereka semua[27].
Dengan kembali mencermati redaksi ayat yang dikaji ini, nampak bahwa ayat tersebut masih memiliki kandungan lain, yakni berkenaan dengan moral kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat dan tokoh-tokohnya. Sifat-sifat yang dimaksud adalah lemah lembut, dan tidak menyakiti hati orang lain, baik dengan perkataan ataupun perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. Sifat-sifat ini, merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang pimpinan yang dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam musyawarah. Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat tersebut, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan.
Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan bahwa sifat-sifat terpuji yang secara terinci dalam ayat tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam upaya menciptakan pemerintahan yang demokrasi. Dengan sistem pemerintahan yang demokrasi, maka rakyat akan terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktekkannya[28]. Di sisi lain, Ibn Kaśīr menegaskan bahwa mewujudkan pemerintahan yang demokrasi merupakan penghargaan kepada tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama[29]. Bahkan dalam pandangan penulis bahwa pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada hak kebebasan mengemukakan pendapat, hak persamaan, dan hak memperoleh keadilan setiap individu. Dalam konteks pendidikan, Guru sebagai pemimpin di kelas dapat mengembangkan konsep musyawarah ini dalam bentuk diskusi dengan peserta didik melalui mata pelajaran yang sedang diajarkan.
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas, tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari hadis dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh orang yang diajak bermusyawarah.
      Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi saw, cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyarawahkan, terkadang juga beliau melibatkan pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi[30].
     Dapat dipahami bahwa praktek musyawarah seperti ini, merupakan bentuk pelaksanaan “manajemen strategis” untuk pengambilan keputusan yang sangat patut untuk ditiru dan diikuti, termasuk dalam dunia Pendidikan, dengan memilih dan melihat siapa-sipa yang berhak untuk diikutkan dalam musyawarah, sehingga keputusan yang diambil, menjadi akurat dan bermanfaat.

c. Musyawarah dalam rumah tangga sebagai Lembaga Pendidikan Informal
Hak-hak yang harus diperoleh oleh setiap individu tersebut, bukan saja harus diperoleh dan diupayakan oleh pemimpin negara, tetapi setiap individu harus pula memperoleh hak-haknya di lingkungan keluarganya. Keluarga sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Informal, pemimpin rumah tangga, dalam hal ini suami-isteri harus mengupayakan penciptaan sistem demokrasi di lingkungan rumah tangganya melalui asas musyawarah, sebagai mana yang ditegaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 233.
Secara global, QS. al-Baqarah (2): 233 mengadung konteks pembicaraan mengenai sikap yang diperintahkan kepada orang tua sebagai pemimpin rumah tangga yakni :
1. Ibu bertugas menyusui anaknya           والذين يرطعين اولآدهن))
2. Ayah bertugas mencarikan rezkiوعلى المولود له رزقهن)         )
3. Keduanya (ibu dan ayah) bermusyawarah     ( (عن تراض منهما وتشاور

Kata وتشاور (permusyawaratan), mengandung ajaran bahwa orang tua berkewajiban mengadakan musyawarah dalam rangka mengupayakan kelangsungan hidup anak-anak mereka secara baik.
Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa hanya kedua orangtualah yang berhak menentukan perihal bayi. Adapun jika salah satu pihak berbuat sesuatu yang membahayakan bayi, misalnya ibunya enggan menyusuinya atau ayahya tidak mau lagi mengeluarkan biaya sebelum masa yang telah disepakati habis, maka di sini, peranan seorang ibu sangat penting, sebab secara naluriah, seorang ibu akan lebih sayang terhadap bayinya. Di sinilah pentingnya musyawarah bagi kedua orang tua sebelum melaksanakan suatu pekerjaan, betapapun kecil masalahnya seperti dalam masalah pendidikan anak, dan tidak dibenarkan mengambil keputusan secara sepihak tanpa menghiraukan pihak lain[31]. Selanjutnya, Dr. Wahbah Zuhailiy menjelaskan bahwa ayat tersebut, merupakan petunjuk Alquran untuk mengadakan musyawarah mulai dari hal-hal yang terkecil untuk mendidik anak, dan sangat dituntut karena faidahnya lebih besar.[32]
Dapatlah dipahami bahwa dalam ajaran musyawarah mengandung nilai pendidikan dan unsur manajemen, yakni Tuhan bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan suami isteri yang sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil keputusan, dan membagikan atau menentukan tugas masing-masing untuk mengurus anak. Pembagian tugas (Organizing) adalah salah satu dari fungsi manajemen. Karena itu, kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat akan menjadi landasan bagi terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang besar dan rumit, yaitu negara.

BAB III
PENUTUP

1. Musyawarah adalah suatu ajaran Islam yang terkandung dalam kitab suci Alquran yang secara leksikal berarti perundingan. Akan tetapi, secara terminologi, musyawarah dapat dipahami sebagai upaya saling berembuk dengan cara berinteraksi yang baik antara dua pihak atau lebih untuk menyatukan konsep dalam mencari seluruh yang dianggap terbaik terhadap sesuatu masalah yang dihadapi.
2. Konsep musyawarah dalam Alquran dapat ditelusuri melalui tiga istilah, yakni syūra, syāwir, dan tasyāwur. Istilah syūra mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah dan demokrasi. Istilah syāwir mengandung interpretasi demokrasi dan orang-orang yang diminta bermusyawarah. Sedangkan istilah tasyāwur mengandung interpretasi tentang urgennya musyawarah diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah tangga) untuk terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar (negara). Jadi, musyawarah dalam perspektif Alquran adalah sesuatu yang penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menerapkannya dalam kehidupan ini.
3.  Musyawarah dalam konsep Alquran mengandung unsur pendidikan, seperti mendidik individu yang terlibat di dalamnya untuk mengeluarkan pendapat dengan benar, berinteraksi satu-sama lain dengan etis, saling memaafkan, dan bertawakkal kepada Allah swt setelah mengambil keputusan. Selain itu, dengan membagi-bagikan (Organizing) tugas kepada masing-masing pihak (seperti Allah swt menunjukkan tugas suami-isteri) merupakan penerapan dari salah satu fungsi manajemen. Selanjutnya, dengan melibatkan orang-orang yang berkonpeten dalam musyawarah, merupakan penerapan dari manajemen strategis dalam pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashfahāniy, Syekh Muhammad al-Rāghib. Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, di-tahqiq oleh Shafwān „Adnān Dāwūdiy. Cet. I; Bairūt: Dār al-Syāmiyah, 1992.
Al-Bāqy, Muhammad Fuad „Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm. Bairūt: Dār al-Fikr, 1992.
Al-Farmāwy, Abd. al-Hayy. al-Bidāyat fi al-tafsīr al-Mawdū’iy, diterjemahkan oleh Siryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhui. Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Mahalliy, Jalāl al-Dīn. dan Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, al-Quir’ān al-Karīm wa Bi Hāmisyihi Tafsīr al-Jalālayn Muzaylā bi Asbāb al-Nuzūl li al-Suyūtiy. Cet. II; Damsiq: Dār al-Jayl, 1995.
Al-Naysābūriy, Abū al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy. Asbāb al-Nuzūl. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.
Al-Qaththān, Mannā. Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān. Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973.
al-Suyūtiy, Jalāl al-Dīn. Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et al dengan judul Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1975.
Al-Turmūzi, Imam. Tuhfat al-Ahwāz bi Syarh Jāmi’ al-Turmuziy, juz V Madīnah: Maktabah al-Marifah, 1964.
Al-Zarkāniy, Muhammad „Abd. al-„Azīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Cet. I; al-Qāhirah: Dār Ihyā al-Turāś al-„Arabiy, 1995.
Al-Zuhaily, Wahbah. Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Manhaj, juz II. Bairūt: Dār al-Fikr al-Muāshir, 1991.
Amrullah, Haji Abdul Malik Karim (Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz II. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Quran, 1992.
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islam, juz I. Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1964.
Hijāziy, Mahmūd. al-Tafsīr al-Wādhih, juz I. Cet. X; Bairūt: Dār al-Jīl, 1993.
Ibn Fāris bin Zakariyah, Abū al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqāyis al-Lughat, jilid III. Mesir: Mushthāfa al-Bāb al-Halabi wa Syarikah, 1972.
Ibn Kaśīr, Abū al-Fidā Muhammad Ismāil. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IV. Semarang: Toha Putra, t.th.
Ibrahim, Muhammad Ismail. Mu’jam al-Alfāzh wa A’lam al-Qur’āniyat, jilid I. al-Qāhirat: Dār al-Fikr al-„Arabiy, 1979.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1996.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 199.6
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manār, jilid IV. Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1970.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1, 2, dan 12. Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2002.
.______Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Mawdhuiy atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. II; Jakarta: LSIK, 1994.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1992


Kesimpulan isi atau kandungan surah Ali Imran, 3: 159 tersebut adalah merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang amat besar, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau tidak bersifat dan berperilaku keras serta berhati kasar. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang yang berhati lembut, dan berperilaku baik yang diridai Allah SWT serta mendatangkan berbagai manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dalam pergaulan Rasulullah SAW senantiasa memberi maaf kepada orang yang telah berbuat salah, khususnya terhadap para sahabatnya yang telah melakukan pelanggaran. Dalam perang Uhud Rasulullah SAW juga memohonkan ampun pada Allah SWT terhadap kesalahan mereka dan bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan. Untuk melaksanakan tekadnya, khususnya hasil musyawarah Rasulullah SAW selalu bertawakal pada Allah SWT.
Karena budinya yang luhur, dan akhlaknya yang mulia seperti tersebut Rasulullah SAW memperoleh simpati dalam pergaulan, khususnya disenangi dan didekati oleh para sahabatnya serta dicintai oleh Allah SWT.
Perlu pula diketahui bahwa salah satu yang menjadi penekanan pokok dalam surah Ali Imran, 3: 159 itu dalah perintah untuk melakukan musyawarah. Perintah ini bukan hanya ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi kepada seluruh pengikutnya yakni umat islam, di mana pun mereka berada.
Kata musyawarah berasal dari akar kata arab (syawara) yang artinya, secara kebahasaan ialah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud, dengan musyawarah itu ialah berunding antara seseorang dengan orang lain, antara satu golongan dan golongan lain, mengenai suatu masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan atau kesepakatan bersama.
Mengacu kepada Al-Qur’an surah Ali Imran, 3: 159, maka di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, khususnya dalam bermusyawarah, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip umum sebagai berikut ini:
1.     Melandasi musyawarah dengan hati yang bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
2.     Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik, seperti: tidak berperilaku keras, dengan tutur kata yang sopan, saling menghormati, dan saling menghargai, serta melakukan usaha-usaha agar hasil musyawarah itu berguna.
3.     Para peserta musyawarah hendaknya berlapang dada, bersedia memberi maaf apabila dalam musyawarah itu terjadi perbedaan-perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas kesalahan para peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4.     Hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah SWT. Orang-orang yang bertawakal tentu akan berusaha sekuat tenaga, diiringi dengan doa kepada Allah Azza wajalla, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT itu menyukai orang-orang yang bertawakal.
Suatu hal yang perlu disadari bahwa musyawarah yang diterapkan dari mulai lembaga terendah yaitu keluarga, sampai dengn lembaga tertinggi, yaitu MPR, hasilnya jangan sampai menyimpang dari ajaran Allah SWT dan Rasul-nya (Al-Qur’an dan Hadis). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (Hadis).” (Q.S. An-Nisa, 4: 59).
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim/Muslimah, bahwa lapangan yang dimusyawarahkan terbatas pada masalah-masalah kemasyarakatan, yang tidak ada petunjuknya secara tegas dan jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya usaha mengatasi kesulitan ekonomi dalam keluarga, masalah usaha mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dan masalah menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lihat Q.S Al-Ahzab, 33: 36).





















Abstract
This study is in relation to tafsir that discusses about agreement in the Qur’an using thematic approach that identifies Qur’anic verses which have similar themes. Agreement is one of Islamic teaching that means consultation. This can be understood that negotiation between two parties or more have an agreement on an issue. There are three therms in Qur’an related to agreement, namely syūra, syāwir, and tasyāwur. The term of syura relates to domain of agreement or democaracy, syāwir relates to democracy and people whom are asked to negotiate (object). While, term tasyāwuris related to the importance of negotiation which can be applied in the small unit of society (family) and the wider societal unit (state).
Kata Kunci: Musyawarah



[1] Muhammad ‘Abd. al-‘Azīm al-Zarkāniy, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Cet. I; al-Qāhirah: Dār Ihyā al-Turāś al-‘Arabiy, 1995), h. 427.
[2] 9Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 190.
[3]Metode tafsīr tahlīliy adalah menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh aspeknya dengan memerhatikan secara runtut ayat demi ayat dalam Alquran sebagaimana yang tercantum dalam mushhaf. Lihat Abd. al-Hayy al-Farmāwy, al-Bidāyat fi al-tafsīr al-Mawdū’iy, diterjemahkan oleh Siryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhui (Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 12.

[4] Metode tafsīr mawdhuiy adalah menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh aspeknya yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah. Ibid., h. 36.
[5] Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 496.
[6] Mengenai himpunan surah-surah dan ayat-ayat periode Makkah dan periode Madani, lihat Mannā’ al-Qaththān, Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān (Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973), h. 54-56.
[7] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 789.

[8] Ibid., h.103.
[9] Ibid., h. 57.
[10] Abū al-Fidā’ Muhammad Ismā’il bin Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IV (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 117.
[11] Uraian lebih lanjut mengenai latar belakang hijrahnya sebagian sahabat ke Habsyah, lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: LSIK, 1994), h. 22.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12 (Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 512.
[13]20M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 445.
[14] Bunyi ayat QS. al-Syūra (42): 37 adalah: واذاماغضبواهم يغفرون…. (… dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf),
[15] Bunyi ayat QS. al-Syūrah (42): 40 adalah : فمن عفا واصلح فآجره على الله…. (…maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tangguangan Allah).
[16] Ibn Kaśīr, op. cit., juz I, h. 420. Perang Uhud adalah pertempuran antar pasukan Nabi saw melawan pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Abū Sufyan. Perang ini terjadi pada siang hari Sabtu, 7 Zulaqaedah 3 H, dan pasukan Nabi saw mengalami kekalahan. Sekitar 80 pasukan Nabi saw menjadi korban, bahkan dikabarkan bahwa Nabi saw sendiri telah terbunuh dalam peperangan ini. Kekalahan yang di-alaminya disebabkan kelengahan para sahabat yang diserahi mengamankan tempat-tempat strategis, dan mereka begitu tertarik untuk menguasai harta rampasan perang. Uraian lebih lanjut mengenai perang uhud, lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarīkh al-Islam, juz I (Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1964), h. 45-46. Lihat juga Badri Yatim,   op. cit., h. 28-29.
[17] Abū al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysābūriy, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta: Dinamika Utama, t.th), h. 84.
[18] al-Dīn al-Suyūtiy, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et al dengan judul Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1975), h. 198.
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, h. 241-242.
[20] Mahmūd Hijāziy, al-tafsīr al-Wādhih, juz I (Cet. X; Bairūt: Dār al-Jīl, 1993), h. 301.
[21] Mannā’ al-Qaththān, op. cit., h. 55.
[22]Mahmūd Hijāziy, op. cit., h. 150.
[23] M. Quraish Shihab, op. cit., vol. I, h. 503.
[24] Jalāl al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, al-Quir’ān al-Karīm wa Bi Hāmisyihi Tafsīr al-Jalālayn Muzaylā bi Asbāb al-Nuzūl li al-Suyūtiy (Cet. II; Damsiq: Dār al-Jayl, 1995), h. 159.
[25] M. Quraish Shihab, Wawasan, op. cit. h. 482.
[26] Imam al-Turmūzi, Tuhfat al-Ahwāz bi Syarh Jāmi’ al-Turmuziy, juz V (Madīnah: Maktabah al-Ma’rifah, 1964, h. 375.

[27] Ibid., h. 475.
[28] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1970), h 45.
[29] Ibn Katsir, op. cit, juz I; h. 420.
[30] Ibid., h. 480-481.

[31] Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., juz I; h. 333.
[32] Wahbah al-Zuhaily, Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Manhaj, juz II (Bairūt: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1991), h. 366.

Makalah :Tentang Musyawarah Menurut Al-Qur'an Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

0 comments:

Post a Comment