BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Umat Islam sangat menghargai dan
memuliakan Alquran. Demikian agungnya kitab suci ini, sehingga membacanya saja,
sudah dianggap sebagai sesuatu yang bernilai ibadah[1].
Selain itu, dalam kehidupan umat Islam, Alquran menempati posisi penting dan
menentukan hidup keagamaan mereka. Isi Alquran diyakini sebagai petunjuk
kehidupan yang dapat mengantar manusia ke arah kehidupan yang bahagia di dunia
dan di akhirat kelak.
Kitab suci Alquran sarat dengan
berbagai petunjuk yang seharusnya diaplikasikan dalam realitas kehidupan ini,
dan salah satu dari petunjuk Alquran tersebut adalah musyawarah. Penafsiran
tentang musyawarah agaknya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian
pula pengertian dan persepsi tentang istilah yang padat makna ini mengalami
evolusi. Seperti dijelaskan Hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan
perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah
dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik,
demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, dan berbagai konsep yang
berkaitan dengan sistem pemerintahan[2].
Keterkaitan musyawarah dengan aspek-aspek lain, seperti dikemukakan Hamka
tersebut, merupakan suatu indikasi bahwa ayat-ayat tentang musyawarah sangat
menarik untuk dikaji.
Dalam mengkaji ayat-ayat tentang
musyawarah, para mufassir pada umumnya menafsirkannya dengan metode tahlīliy[3].
Namun seiring dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh umat manusia,
maka upaya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang musyawarah dengan metode mawdhu’iy[4]
(tematik) nampaknya sangat urgen dan signifikan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latarbelakang yang telah dikemukan diatas , majka dapat dirumuskan dua pokok rumusan masalah:
1.
Bagaimanakah
konsep musyawara menurut Alquran?
2.
Adakah
unsur pendidikan dan manajemen dalam musyawarah menurut Alquran
BAB II
PEMBAHASAN
1. Himpunan ayat-ayat tentang
musyawarah
Sesuai hasil
penelusuran penulis pada Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, ditemukan
tiga ayat Alquran di dalamnya terdapat istilah yang akar katanya menunjukkan
musyawarah, yakni ; QS. al-Baqarah (2): 233 yang di dalamnya terdapat term tasyāwur;
QS. Ali Imrān
(3): 159 yang di dalamnya terdapat istilah syāwir; dan QS. al-Syūra
(42): 38 yang di dalamnya terdapat istilah syūra[5].
QS. al-Baqarah (2): 233 dan QS. Ali Imrān (3): 159, turun pada periode Madinah.
Sedangkan QS. al-Syūrah (42): 38, turun pada periode Makkah[6].
Ketiga ayat tersebut, akan dihimpun berdasarkan kronologi turunnya sebagai
berikut :
a. QS. al-Syūra (42): 38,
Terjemahnya :
Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka[7].
b. QS. Ali Imrān (3): 159
Terjemahnya :
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya[8].
c. QS. al-Baqarah (2): 233
Terjemahnya :
Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan[9].
2. Sabab al-nuzūl dan munāsabah
ayat
QS. al-Syūra (42): 38 yang
dikutip di atas, turun pada periode Makkah. Dalam hal ini, Ibn Kaśīr menyatakan
bahwa ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa permusuhan yang sedang memuncak
di Makkah, sehingga sebagian para sahabat terpaksa harus berhijrah ke Habsyah.[10]
Tidak ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai permusuhan apa yang
dimaksudkan oleh Ibn Kaśīr tersebut, namun dapat diprediksi bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada tahun kelima kerasulannya, karena pada tahun ini, Nabi
saw menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai tempat pengungsian[11].
Masih terkait dengan kronologi
turunnya QS. al-Syūra (42): 38 tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
“ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang
memiliki kekuasaan politik”[12].
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa turunnya ayat yang menguraikan syūra pada
periode Makkah, menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah anjuran
Alquran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk
Allah swt. di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi Saw. dan para sahabatnya
seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrah ke Madinah.
Di Makkah (sebelum periode
Madinah), memang telah ada lembaga musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di
rumah Qusay ibn Kilāb, yang disebut Dār al-Nadwah, beranggotan para
pemuka kabilah yang disebut Malā’. Kegiatan tasyāwur ini biasa
juga dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh, termasuk orang-orang
kaya dan yang dipandang cendekia atau bijak[13].
Dari keterangan ini, diperoleh informasi yang akurat bahwa Alquran telah
meligitimasi permusyawaratan sejak awal kedatangan Islam.
Ayat sebelumnya, yakni ayat 37
dalam surah yang sama, Allah swt menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang
sering memberi maaf[14].
Lalu pada ayat ke 38 ini, Allah menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang
yang memenuhi seruan-Nya, yakni mereka yang melaksanakan shalat dan segala
urusan mereka dimusyawarahkan. Pada ayat selanjutnya, yakni ayat 39 Allah swt menjelaskan
orang-orang diperlakukan secara zalim, kemudian pada ayat 40, kembali Allah
swt. menjelaskan tentang pahala orang yang selalu memberi maaf[15].
Dengan mencermati kandungan QS. al-Syūrah tersebut, khususnya munāsabah
al-āyat antara ayat 37 sampai dengan ayat 40, maka dapat dirumuskan bahwa
masalah musyawarah memiliki keterkaitan dengan masalah pemaafan.
Fakta di lapangan membuktikan
bahwa dalam forum musyawarah seringkali muncul sifat-sifat egoistis, dan mereka
yang terlibat dalam musyawarah tersebut saling mempertahankan pendapatnya,
sehingga muncul ketegangan di antara mereka. Dalam keadaan seperti ini, maka diperlukan
sikap lapang dada dan kepada mereka diharapkan untuk menjauhi sikap marah
sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 37. Sikap marah tersebut akan hilang
bilamana mereka saling memaafkan, dan sikap saling memaafkan adalah sesuatu
yang terpuji, bahkan pada ayat 40 dijelaskan bahwa Allah swt memberi pahala
kepada orang-orang yang selalu memaafkan sesamanya.
Berdasar pada intisari munāsabah
ayat di atas, maka diketahui bahwa sikap marah yang identik dengan sikap
kasar adalah sesuatu yang mesti dihindari dalam bermusyawarah. Praktis bahwa
yang harus dinampakkan dalam ber-musyawarah adalah sikap lemah lembut sebagai
antitesa dari sikap kasar, sebagai mana yang ditegaskan dalam QS. Ali Imrān
(3): 159 yang turun pada periode Madinah.
Ayat 159 sampai ayat 165 dalam
QS. Ali Imran, berbicara tentang perang Uhud. Karena itu, Ibn Kaśīr menjelaskan
bahwa sebab-sebab turunnya QS. Ali Imrān (3): 159, secara khusus berkaitan
dengan perang Uhud[16].
Ayat ini Ditambahkan oleh al-Wāhidiy berdasarkan riwayat dari al-Kalabi, ia
berkata bahwa ayat tersebut turun ketika para tentara Islam berlomba-lomba
menuntut rampasan perang[17].
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi saw berkali-kali mengutus pasukan ke
medan jihad. Pada suatu waktu, ada pasukan yang kembali dan di antaranya ada
yang mengambil ghanīmah sebelum dibagikan menurut haknya. Maka turunlah ayat
tersebut sebagai larangan mengambil rampasan perang sebelum dibagikan oleh amīr
(pimpinan)[18].
Berdasar pada sabab nuzūl ayat
tersebut di atas, maka dipahami bahwa ketika terjadi perang Uhud, Nabi saw.
kecewa atas tindakan tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang
mengakibatkan kekalahan di pihak Nabi. Melalui QS. Ali Imrān (3): 159 Allah swt
mengingatkan Nabi saw bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus
bersikap lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka dan
bermusyawarah dengan mereka.
M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi
manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan
kelemahlembutan Nabi saw. Ia bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan
berperang, ia menerima usul mayoritas mereka, walau Nabi saw sendiri kurang
berkenan. Nabi saw tidak memaki dan mempersalahkan sahabat yang meninggalkan
markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus[19].
Inilah perangai yang dicontoh-kan oleh Nabi saw, ia lemah lembut dan tidak
berhati kasar, ia selalu memaafkan sahabatnya dan bersedia mendengar serta menerima saran dari
sahabat yang ikut bermusyawarah.
Dengan mencermati sabab nuzūl dan
intisasari QS. Ali Imrān (3): 159 tersebut, kelihatan bahwa ayat ini masih
memiliki munāsabah yang erat dengan QS. al-Syūra (42): 38 yang telah diuraikan
sebelumnya yang sama-sama berbicara tentang sikap terpuji yang harus
ditampilkan dalam bermusyawarah, yakni sikap pemaaf dan menghindari sikap
kasar. Terkait dengan ini, Mahmūd Hijāziy menyatakan bahwa munāsabah ayat
yang diperoleh dalam QS. Ali Imrān (3) 159 pada aspek nikmat-nikmat dan
keutamaan yang dari Allah swt dan rahmat-Nya, sehingga pada diri Nabi saw
selalu tampil dengan sikap memafkan, dan menyepakati hal-hal yang baik untuk
kepentingan dunia dan akhirat[20].
Sikap dan perangai Nabi saw tersebut harus dicontohi oleh umatnya, terutama
ketika mereka bermusyawarah dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi,
baik persoalan tersebut menyangkut masalah pemerintahan dalam skop yang luas,
maupun masalah rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti yang
ditegas-kan dalam QS. al-Baqarah (2): 233.
Dalam berbagai literatur tafsir
dan ilmu tafsir, serta kitab-kitab yang membicarakan tentang sabab nuzūl, penulis
belum menemukan keterangan tentang latar belakang turunnya QS. al-Baqarah (2):
233 tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa ayat ini, turun pada periode
Madinah. Dalam hal ini, berdasar pada pernyataan Mannā
al-Qaththān bahwa
“semua ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah adalah madaniy”[21].
Antara lain muatan pokok ayat ini, adalah memberi petunjuk agar
persoalan-persoalan kerumahtanggaan dimusyawarahkan. Dengan demikian, ayat ini
masih memiliki munāsabah yang erat dengan ayat-ayat tentang musyawarah
yang telah diuraikan sebelumnya.
Mahmūd Hijāziy menjelaskan
ayat-ayat yang mendahului QS. al-Baqarah (2): 233 tersebut berbicara tentang
masalah talak, kemudian ayat 233 ini berbicara tentang masalah penyapihan.
Menurutnya, bahwa kedua masalah ini terkait (ber-munāsabah) dengan
masalah keluarga[22]
. Masih terkait dengan aspek munāsabah-nya, M. Quraish Shihab juga
menjelaskan bahwa QS. al-Baqarah (2): 233 masih merupakan rangkaian pembicaraan
tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami isteri, maka pembiracaan pada
ayat ini adalah tentang anak yang lahir dari hubungan suami isteri itu. Di sisi
lain, ia masih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang
memiliki bayi[23].
Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh
kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya, dan persoalan rumahtangganya
dimusyawarahkan antara suami isteri.
3. Analisis tematik tentang
ayat-ayat musyawarah
Setelah menghimpun dan
menguraikan sabāb nuzūl dan aspek-aspek munāsabah dari ketiga
ayat tentang musyawarah, masih perlu analisis lebih lanjut terhadap kandungan
ayat-ayat tersebut untuk menemukan dan merumuskan konsep musyawarah dalam
Alquran secara komprehensif.
a. Lapangan
musyawarah dan lembaga syūra
Lapangan musyawarah,
terinterpretasi dalam QS. al-Syūrah (42): 38, dan secara global ayat tersebut
mengadung konteks pembicaraan mengenai ciri-ciri orang beriman, yakni;
1) Taat dan patuh kepada Allah (والذين استجابوالربهم)
2) Menunaikan salat (واقام الصلاة)
3) Menghidupkan musyawarah (وامرهم شورى بينهم) ,
dan
4) Berjiwa
dermawan (وممارزقناهم ينفقون)
Kata وأمرهم (urusan mereka) dalam ayat ini, menunjukkan bahwa mereka
musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka, serta yang
berada dalam wewenang mereka. Ini berarti yang dimusyawarahkan
adalah persoalan yang khusus berkaitan
dengan masyarakat sebagai satu unit. Mengenai kata-kata بَيْنَيُمْ شُورَى (musyawarah antara mereka)
terkandung konotasi berasal dari suatu pihak tertentu. Tetapi rangkaian
kalimatnya itu mengisyaratkan makna “saling bermusyawarah di antara mereka”[24].
Dengan demikian, ayat ini mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah
dan pentingnya lembaga syūra. Dikatakan demikian, karena M. Quraish
Shihab mengidentikkan istilah syūra dalam ayat ini dengan demokrasi[25]. Untuk
mewujudkan kehidupan berdemokrasi, maka lapangan bermusyawarah harus terbuka
secara bebas, dan lembaga syūra harus menganut sistem demokrasi sebagai
antitesa dari pola-pola diktator dan egoisme.
Jadi, musyawarah yang merupakan
ciri khas demokrasi yang ditawarkan dalam Islam mempunyai dasar yang kuat. Mufassir
memahaminya sebagai ajaran bermusyawarah untuk kepentingan pemerintahan dan
negara. Di samping itu, ditemukan riwayat bahwa Nabi saw dalam bermusyawarah
melibatkan banyak orang. Riwayat tersebut bersumber dari Abū Hurairah
sebagaimana yang terdapat sunan al-Turmūzi yakni ;
Artinya :
Tidak pernah aku melihat
seseorang yang lebih banyak bermusyawarah bersama sahabat-sahabat, dari pada
Rasulullah.
Riwayat di atas mengindikasikan
bahwa Nabi saw dalam bermusyawarah senantiasa melibatkan banyak orang. Ini
berarti bahwa musyawarah yang dicontohkan oleh Nabi saw merupakan ciri khas
demokrasi, karena di dalamnya banyak pihak yang berpartisipasi.
Jika kembali diperhatikan ayat
dan hadis yang telah dikutip di atas, ternyata tidak ditemukan petunjuk khas
mengenai sistem dan teknik pelaksanaan musyawarah itu sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem dan teknik musyawarah diserahkan kepada umat.
Lembaga musyawarah itu sendiri
memang telah ada pada zaman Nabi, tetapi bentuknya sangat sederhana. Lembaga syūra
pada zaman Nabi saw, berbeda dengan zaman kini. Ketika Nabi saw masih
hidup, ia tidak dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin melainkan Allah
swt yang memilihnya.
Untuk masa kini, lembaga syūra
itu sebagai parleman yang dipilih oleh rakyat, sehingga perlu ada pemilihan
umum. Demikian pula, ahl al-syūra bukanlah sembarang orang, asal dipilih
oleh rakyat, melainkan terdiri dari mereka dengan kualifikasi-kualifikasi
tertentu. Karena itu, esensi lembaga syūra adalah pemberian kesempatan
kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum
ataupun kebijaksanaan politik.
Dari uraian di atas, diketahui
bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan bersama, dan hal ini telah
ditegaskan oleh Alquran pada awal datangnya Islam. Agar musyawarah tersebut
dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan lembaga syūra sebagai tempat
bermusyawarah. Dengan adanya lembaga syūra ini, sangat memungkinkan
terwujudnya demokrasi.
b. Demokrasi dan orang-orang yang
diminta bermusyawarah
Sistem demokrasi dalam perspektif
Islam, telah dicontohkan oleh Nabi saw ketika ia membangun negara Madinah
sebagaimana yang digambarkan dalam QS. Ali Imrān (3): 159, karena ayat ini
turun pada periode Madinah. Dari ayat ini pula secara tegas dapat terbaca bahwa
perintah musyawarah ditujukan kepada Nabi saw, karena mengandung konteks
pembicaraan mengenai sikap yang diperintahkan kepada Nabi saw yakni;
1) Sikap lemah lembut (لِنلتَ لَهُم)
2) Memberi maaf (فاعفُ عنهم واستغفرلهم)
3) Perintah bermusyawarah (وشاورهم),
dan
4) Perintah bertawakkal (فتوكل على الله)
Kata وشاورهم(dan bermusyawarahlah dengan mereka), mengandung perintah kepada
Nabi saw untuk bermusyawarah dengan sahabatnya. Karena ayat ini adalah dalam
konteks madaniyah, dan ketika itu Nabi saw juga sebagai pemimpin negara, maka
perintah musyawarah dalam ayat tersebut menunjukkan telah disyariatkan
musyawarah secara formal dalam suatu negara.
Menurut M. Quraish Shihab, bahwa
petunjuk ayat tersebut tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun
redaksinya ditujukan kepada Nabi saw. Di sini Nabi saw berperan sebagai
pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh
umat, sehingga sejak kandungan-Nya telah ditujukan kepada mereka semua[27].
Dengan kembali mencermati redaksi
ayat yang dikaji ini, nampak bahwa ayat tersebut masih memiliki kandungan lain,
yakni berkenaan dengan moral kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan
dukungan dan partisipasi umat dan tokoh-tokohnya. Sifat-sifat yang dimaksud
adalah lemah lembut, dan tidak menyakiti hati orang lain, baik dengan perkataan
ataupun perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat.
Sifat-sifat ini, merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang pimpinan yang
dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam
musyawarah. Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat
tersebut, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan.
Muhammad Rasyid Ridha
mengemukakan bahwa sifat-sifat terpuji yang secara terinci dalam ayat tersebut
harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam upaya menciptakan pemerintahan yang
demokrasi. Dengan sistem pemerintahan yang demokrasi, maka rakyat akan terdidik
dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktekkannya[28].
Di sisi lain, Ibn Kaśīr menegaskan bahwa mewujudkan pemerintahan yang demokrasi
merupakan penghargaan kepada tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat, sehingga
mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama[29].
Bahkan dalam pandangan penulis bahwa pelaksanaan musyawarah merupakan
penghargaan kepada hak kebebasan mengemukakan pendapat, hak persamaan, dan hak
memperoleh keadilan setiap individu. Dalam konteks pendidikan, Guru sebagai
pemimpin di kelas dapat mengembangkan konsep musyawarah ini dalam bentuk
diskusi dengan peserta didik melalui mata pelajaran yang sedang diajarkan.
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip
di atas, tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak
juga jumlahnya. Namun demikian, dari hadis dan pandangan ulama, diperoleh
informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh orang yang diajak
bermusyawarah.
Dalam
konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan
Nabi saw, cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap
cakap untuk bidang yang dimusyarawahkan, terkadang juga beliau melibatkan
pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam
masalah yang dihadapi[30].
Dapat dipahami bahwa praktek musyawarah
seperti ini, merupakan bentuk pelaksanaan “manajemen strategis” untuk
pengambilan keputusan yang sangat patut untuk ditiru dan diikuti, termasuk
dalam dunia Pendidikan, dengan memilih dan melihat siapa-sipa yang berhak untuk
diikutkan dalam musyawarah, sehingga keputusan yang diambil, menjadi akurat dan
bermanfaat.
c. Musyawarah dalam rumah tangga
sebagai Lembaga Pendidikan Informal
Hak-hak yang harus diperoleh oleh
setiap individu tersebut, bukan saja harus diperoleh dan diupayakan oleh
pemimpin negara, tetapi setiap individu harus pula memperoleh hak-haknya di
lingkungan keluarganya. Keluarga sebagai salah satu Lembaga Pendidikan
Informal, pemimpin rumah tangga, dalam hal ini suami-isteri harus mengupayakan
penciptaan sistem demokrasi di lingkungan rumah tangganya melalui asas
musyawarah, sebagai mana yang ditegaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 233.
Secara global, QS. al-Baqarah
(2): 233 mengadung konteks pembicaraan mengenai sikap yang diperintahkan kepada
orang tua sebagai pemimpin rumah tangga yakni :
1. Ibu bertugas menyusui anaknya والذين يرطعين اولآدهن))
2. Ayah bertugas mencarikan rezkiوعلى المولود له رزقهن) )
3. Keduanya (ibu dan ayah)
bermusyawarah ( (عن تراض منهما وتشاور
Kata وتشاور (permusyawaratan), mengandung
ajaran bahwa orang tua berkewajiban mengadakan musyawarah dalam rangka
mengupayakan kelangsungan hidup anak-anak mereka secara baik.
Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan
bahwa hanya kedua orangtualah yang berhak menentukan perihal bayi. Adapun jika
salah satu pihak berbuat sesuatu yang membahayakan bayi, misalnya ibunya enggan
menyusuinya atau ayahya tidak mau lagi mengeluarkan biaya sebelum masa yang
telah disepakati habis, maka di sini, peranan seorang ibu sangat penting, sebab
secara naluriah, seorang ibu akan lebih sayang terhadap bayinya. Di sinilah
pentingnya musyawarah bagi kedua orang tua sebelum melaksanakan suatu
pekerjaan, betapapun
kecil masalahnya seperti dalam masalah pendidikan anak, dan tidak dibenarkan
mengambil keputusan secara sepihak tanpa menghiraukan pihak lain[31].
Selanjutnya, Dr. Wahbah Zuhailiy menjelaskan bahwa ayat tersebut, merupakan
petunjuk Alquran untuk mengadakan musyawarah mulai dari hal-hal yang terkecil
untuk mendidik anak, dan sangat dituntut karena faidahnya lebih besar.[32]
Dapatlah dipahami bahwa dalam
ajaran musyawarah mengandung nilai pendidikan dan unsur manajemen, yakni Tuhan
bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan suami isteri yang
sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil keputusan, dan
membagikan atau menentukan tugas masing-masing untuk mengurus anak. Pembagian
tugas (Organizing) adalah salah satu dari fungsi manajemen. Karena itu,
kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil
di masyarakat akan menjadi landasan bagi terbinanya kebiasaan bermusyawarah
dalam unit sosial yang besar dan rumit, yaitu negara.
BAB
III
PENUTUP
1. Musyawarah adalah suatu ajaran
Islam yang terkandung dalam kitab suci Alquran yang secara leksikal berarti
perundingan. Akan tetapi, secara terminologi, musyawarah dapat dipahami sebagai
upaya saling berembuk dengan cara berinteraksi yang baik antara dua pihak atau
lebih untuk menyatukan konsep dalam mencari seluruh yang dianggap terbaik terhadap
sesuatu masalah yang dihadapi.
2. Konsep musyawarah dalam
Alquran dapat ditelusuri melalui tiga istilah, yakni syūra, syāwir, dan tasyāwur.
Istilah syūra mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah
dan demokrasi. Istilah syāwir mengandung interpretasi demokrasi dan
orang-orang yang diminta bermusyawarah. Sedangkan istilah tasyāwur mengandung
interpretasi tentang urgennya musyawarah diterapkan mulai dari unit sosial
terkecil (rumah tangga) untuk terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit
sosial yang lebih besar (negara). Jadi, musyawarah dalam perspektif Alquran
adalah sesuatu yang penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk
menerapkannya dalam kehidupan ini.
3. Musyawarah dalam konsep Alquran mengandung
unsur pendidikan, seperti mendidik individu yang terlibat di dalamnya untuk
mengeluarkan pendapat dengan benar, berinteraksi satu-sama lain dengan etis,
saling memaafkan, dan bertawakkal kepada Allah swt setelah mengambil keputusan.
Selain itu, dengan membagi-bagikan (Organizing) tugas kepada masing-masing
pihak (seperti Allah swt menunjukkan tugas suami-isteri) merupakan penerapan
dari salah satu fungsi manajemen. Selanjutnya, dengan melibatkan orang-orang
yang berkonpeten dalam musyawarah, merupakan penerapan dari manajemen strategis
dalam pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahāniy, Syekh Muhammad
al-Rāghib. Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, di-tahqiq oleh
Shafwān „Adnān Dāwūdiy. Cet. I; Bairūt: Dār al-Syāmiyah, 1992.
Al-Bāqy, Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm. Bairūt: Dār al-Fikr, 1992.
Al-Farmāwy, Abd. al-Hayy. al-Bidāyat
fi al-tafsīr al-Mawdū’iy, diterjemahkan oleh Siryan A. Jamrah dengan judul Metode
Tafsir Maudhui. Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Mahalliy, Jalāl al-Dīn. dan
Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, al-Quir’ān al-Karīm wa Bi Hāmisyihi Tafsīr
al-Jalālayn Muzaylā bi Asbāb al-Nuzūl li al-Suyūtiy. Cet. II; Damsiq: Dār
al-Jayl, 1995.
Al-Naysābūriy, Abū al-Hasan Ali
bin Ahmad al-Wahidiy. Asbāb al-Nuzūl. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.
Al-Qaththān, Mannā‟. Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān.
Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973.
al-Suyūtiy, Jalāl al-Dīn. Lubāb
al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et al dengan
judul Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Cet.
II; Bandung: CV. Diponegoro, 1975.
Al-Turmūzi, Imam. Tuhfat
al-Ahwāz bi Syarh Jāmi’ al-Turmuziy, juz V Madīnah: Maktabah al-Ma‟rifah, 1964.
Al-Zarkāniy, Muhammad „Abd.
al-„Azīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Cet. I; al-Qāhirah: Dār
Ihyā al-Turāś al-„Arabiy, 1995.
Al-Zuhaily, Wahbah. Tafsīr
al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Manhaj, juz II. Bairūt: Dār al-Fikr al-Mu‟āshir, 1991.
Amrullah, Haji Abdul Malik Karim
(Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz II. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an, 1992.
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh
al-Islam, juz I. Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1964.
Hijāziy, Mahmūd. al-Tafsīr
al-Wādhih, juz I. Cet. X; Bairūt: Dār al-Jīl, 1993.
Ibn Fāris bin Zakariyah, Abū
al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqāyis al-Lughat, jilid III. Mesir: Mushthāfa
al-Bāb al-Halabi wa Syarikah, 1972.
Ibn Kaśīr, Abū al-Fidā‟ Muhammad Ismā‟il. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm,
juz IV. Semarang: Toha Putra, t.th.
Ibrahim, Muhammad Ismail. Mu’jam
al-Alfāzh wa A’lam al-Qur’āniyat, jilid I. al-Qāhirat: Dār al-Fikr
al-„Arabiy, 1979.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1996.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi
Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 199.6
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir
al-Manār, jilid IV. Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1970.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1, 2, dan 12. Cet.
II; Jakarta: Lentera Hati, 2002.
.______Wawasan Al-Qur’an;
Tafsir Mawdhuiy atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Bandung: Mizan,
1998.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Cet. II; Jakarta: LSIK, 1994.
Yunus,
Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1992
Kesimpulan isi atau kandungan surah Ali Imran, 3: 159 tersebut adalah
merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang amat besar, Nabi
Muhammad SAW merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
Beliau tidak bersifat dan berperilaku keras serta berhati kasar. Bahkan
sebaliknya, beliau adalah orang yang berhati lembut, dan berperilaku baik yang
diridai Allah SWT serta mendatangkan berbagai manfaat bagi masyarakat. Selain
itu, dalam pergaulan Rasulullah SAW senantiasa memberi maaf kepada orang yang
telah berbuat salah, khususnya terhadap para sahabatnya yang telah melakukan
pelanggaran. Dalam perang Uhud Rasulullah SAW juga memohonkan ampun pada Allah
SWT terhadap kesalahan mereka dan bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu
dimusyawarahkan. Untuk melaksanakan tekadnya, khususnya hasil musyawarah
Rasulullah SAW selalu bertawakal pada Allah SWT.
Karena budinya yang luhur, dan akhlaknya yang mulia seperti tersebut
Rasulullah SAW memperoleh simpati dalam pergaulan, khususnya disenangi dan
didekati oleh para sahabatnya serta dicintai oleh Allah SWT.
Perlu pula diketahui bahwa salah satu yang menjadi penekanan pokok dalam
surah Ali Imran, 3: 159 itu dalah perintah untuk melakukan musyawarah. Perintah
ini bukan hanya ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi kepada seluruh
pengikutnya yakni umat islam, di mana pun mereka berada.
Kata musyawarah berasal dari
akar kata arab (syawara) yang
artinya, secara kebahasaan ialah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sedangkan
menurut istilah yang dimaksud, dengan musyawarah itu ialah berunding antara seseorang dengan orang lain, antara satu golongan dan
golongan lain, mengenai suatu masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan
atau kesepakatan bersama.
Mengacu kepada Al-Qur’an surah Ali Imran, 3: 159, maka di dalam pergaulan
hidup bermasyarakat, khususnya dalam bermusyawarah, hendaknya diterapkan
prinsip-prinsip umum sebagai berikut ini:
1.
Melandasi musyawarah dengan hati yang
bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
2.
Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap
dan berperilaku baik, seperti: tidak berperilaku keras, dengan tutur kata yang
sopan, saling menghormati, dan saling menghargai, serta melakukan usaha-usaha
agar hasil musyawarah itu berguna.
3.
Para peserta musyawarah hendaknya
berlapang dada, bersedia memberi maaf apabila dalam musyawarah itu terjadi
perbedaan-perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar ucapan-ucapan yang
menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas kesalahan para
peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4.
Hasil musyawarah yang telah disepakati
bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah SWT. Orang-orang yang
bertawakal tentu akan berusaha sekuat tenaga, diiringi dengan doa kepada Allah Azza wajalla, sedangkan hasilnya
diserahkan kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT itu menyukai orang-orang
yang bertawakal.
Suatu hal yang perlu disadari bahwa musyawarah yang diterapkan dari mulai
lembaga terendah yaitu keluarga, sampai dengn lembaga tertinggi, yaitu MPR,
hasilnya jangan sampai menyimpang dari ajaran Allah SWT dan Rasul-nya
(Al-Qur’an dan Hadis). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul
(Hadis).” (Q.S.
An-Nisa, 4: 59).
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim/Muslimah, bahwa
lapangan yang dimusyawarahkan terbatas pada masalah-masalah kemasyarakatan,
yang tidak ada petunjuknya secara tegas dan jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Misalnya usaha mengatasi kesulitan ekonomi dalam keluarga, masalah usaha
mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dan masalah menghilangkan
kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lihat Q.S Al-Ahzab, 33: 36).
Abstract
This study is in relation to tafsir that discusses about agreement
in the Qur’an using thematic approach that identifies Qur’anic verses which
have similar themes. Agreement is one of Islamic teaching that means
consultation. This can be understood that negotiation between two parties or
more have an agreement on an issue. There are three therms in Qur’an related to
agreement, namely syūra, syāwir, and tasyāwur. The term of syura relates to
domain of agreement or democaracy, syāwir relates to democracy and people whom
are asked to negotiate (object). While, term tasyāwuris related to the
importance of negotiation which can be applied in the small unit of society
(family) and the wider societal unit (state).
Kata Kunci: Musyawarah
[1]
Muhammad ‘Abd. al-‘Azīm al-Zarkāniy, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Cet. I; al-Qāhirah: Dār Ihyā al-Turāś
al-‘Arabiy, 1995), h. 427.
[2]
9Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz II (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1984), h. 190.
[3]Metode tafsīr tahlīliy adalah menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh aspeknya
dengan memerhatikan secara runtut ayat demi ayat dalam Alquran sebagaimana yang
tercantum dalam mushhaf. Lihat Abd. al-Hayy al-Farmāwy, al-Bidāyat
fi al-tafsīr al-Mawdū’iy, diterjemahkan oleh Siryan A.
Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhui (Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 12.
[4]
Metode
tafsīr mawdhuiy adalah menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran
dari seluruh aspeknya yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama
membicarakan satu topik masalah. Ibid., h. 36.
[5]
Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt:
Dār al-Fikr, 1992), h. 496.
[6]
Mengenai himpunan surah-surah dan ayat-ayat periode Makkah dan
periode Madani, lihat
Mannā’ al-Qaththān, Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān (Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973), h. 54-56.
[7]
Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an,
1992), h. 789.
[10]
Abū al-Fidā’ Muhammad Ismā’il bin Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IV (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 117.
[11]
Uraian lebih lanjut mengenai latar belakang hijrahnya sebagian
sahabat ke Habsyah, lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: LSIK, 1994), h. 22.
[12]
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12 (Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 512.
[13]20M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 445.
[14]
Bunyi ayat QS. al-Syūra (42): 37 adalah: واذاماغضبواهم
يغفرون….
(… dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf),
[15]
Bunyi ayat QS. al-Syūrah (42): 40 adalah : فمن عفا واصلح فآجره على الله…. (…maka
barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tangguangan
Allah).
[16]
Ibn Kaśīr, op. cit., juz I, h. 420. Perang Uhud adalah pertempuran antar pasukan Nabi saw
melawan pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Abū Sufyan. Perang ini terjadi pada
siang hari Sabtu, 7 Zulaqaedah 3 H, dan pasukan Nabi saw mengalami kekalahan.
Sekitar 80 pasukan Nabi saw menjadi korban, bahkan dikabarkan bahwa Nabi saw
sendiri telah terbunuh dalam peperangan ini. Kekalahan yang di-alaminya
disebabkan kelengahan para sahabat yang diserahi mengamankan tempat-tempat
strategis, dan mereka begitu tertarik untuk menguasai harta rampasan perang. Uraian
lebih lanjut mengenai perang uhud, lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarīkh al-Islam, juz I (Mesir:
Maktabah al-Nahdhah, 1964), h. 45-46. Lihat juga Badri Yatim, op.
cit., h. 28-29.
[17]
Abū al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysābūriy, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta:
Dinamika Utama, t.th), h. 84.
[18]
al-Dīn al-Suyūtiy, Lubāb
al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin
Shaleh, et al dengan judul Asbabun Nuzul;
Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1975), h. 198.
[24]
Jalāl al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, al-Quir’ān al-Karīm wa Bi Hāmisyihi Tafsīr al-Jalālayn
Muzaylā bi Asbāb al-Nuzūl li al-Suyūtiy (Cet. II; Damsiq:
Dār al-Jayl, 1995), h. 159.
[26]
Imam al-Turmūzi, Tuhfat al-Ahwāz bi
Syarh Jāmi’ al-Turmuziy, juz V (Madīnah: Maktabah
al-Ma’rifah, 1964, h. 375.
[28] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid
IV (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1970), h 45.
[29] Ibn Katsir, op. cit, juz I; h.
420.
[32]
Wahbah al-Zuhaily, Tafsīr
al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Manhaj, juz II (Bairūt:
Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1991), h. 366.
0 comments:
Post a Comment